Maaf, terlambat update karena habis ujian. Terima kasih buat vote dan komentar... (maaf, nggak bisa balas komentarnya).
Selamat membaca~
___________________________________________________
Presiden memandangku dengan tatapan yang tak aku mengerti maksudnya. Perlahan menurunkanku dari gendongannya. Kakiku dengan mantap menapak tanah.
"Do as you wish," katanya.
Aku tersenyum miring, mengetahui reaksinya yang baik-baik saja dengan niatku. Aku menggenggam lengan kiriku yang masih terasa perih karena luka yang belum diobati. Baru berapa langkah aku berjalan, tangan presiden mencekalku.
"Wait. Kau tak keberatan jika aku memanggil tim medis kan?" tanyanya seperti mengerti bahwa aku membutuhkan orang-orang itu.
"Do as you wish," balasku.
Aku pun berbalik, berjalan mendekat menuju kerumunan orang itu dengan sedikit pincang. Bukan apa-apa, kakiku hanya sedikit lemas karena pertarungan melelahkan tadi.
Orang-orang itu tampak terkejut ketika aku menerobos pembatas yang mereka buat.
"Nyonya... Anda..."
"Tidakkah kalian ingin menghentikan bom itu?" potongku sambil menatap mereka dengan tatapan paling tajam yang aku miliki.
Mereka terdiam menunduk dan beberapa mendeham.
"Kalau begitu bantu aku melakukannya," tambahku.
Kaki aku seret untuk melangkah meski sedikit susah payah. Aku mendekati salah satu bom waktu dan menghela nafas. 01:07:23. Hanya itu waktu yang tersisa sebelum benda ini menghancurkan segalanya.
Aku berlutut melihat salah seorang masih mencoba meretas password pada bom tersebut.
"Apa bom itu tak bisa dibuka? Dan dibekukan?" tanyaku penasaran.
Orang tadi nampak terkejut melihat kehadiranku. Ia berdeham sebelum menjawab pertanyaanku. "Ah, iya, em, maksudku, tidak bisa. Jika dibuka secara paksa, bom ini akan meledak," jawabnya gugup.
"Begitu..." gumamku. "Biar kulihat," secara sepihak, aku mengambil laptop di hadapannya. Benda yang digunakan oleh orang berkacamata itu untuk meretas passwordnya.
Serangkaian angka yang berderet panjang, memenuhi layar laptop itu. Aku memperhatikannya lekat.
"Aku sudah mencoba berbagai cara, tetapi gagal," kata si kacamata di sebelahku.
Aku menggigit bibir bawahku, reaksi yang biasa aku tunjukkan ketika tengah bingung. Mataku tak beralih dari deretan angka itu, ini bukan kode biner maupun kode-kode lain yang pernah aku temui. Ini kode yang tak biasa. Atau mungkin?
"Berikan aku kertas dan alat tulis!" perintahku sambil menengadahkan tangan —tanpa mengalihkan mata dari layar itu.
Orang-orang tampak bingung melihatku, tak ada satupun yang bertindak, hanya memandangku. Itu saja. Aku melirik si kacamata di sebelahku. Ia membalas pandanganku dengan ragu.
"Apa di sini tak ada yang paham dengan bahasa yang kugunakan?" aku melirik papan nama di dadanya. "Kevin?"
Mendengar hal itu, laki-laki di sampingku —yang baru kutahu bernama Kevin— langsung berdiri dan berlari mengambil tasnya. Ia tampak terburu-buru, terlihat beberapa kali ia tersandung karena ulahnya.
Kevin setengah berlari ketika kembali sambil membawa tas hijau miliknya. Ia mengobrak-abrik tas itu, seakan-akan sesuatu yang dicarinya adalah hal paling penting di dunia. Tapi memang benar, benda itu penting saat ini.
YOU ARE READING
Mr. President
Action[First book of the trilogy] Kutukan. Darah. Ambisi. Tahta. 4 Hal yang tak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Hidup seorang pemimpin negara makmur bernama Aidelore. Bukan keinginannya untuk jadi pemimpin, tapi memang sudah tugasnya. -Marc...