Dangerous

3.5K 277 72
                                    

Airen's POV

Gilbert. Bisa kukatakan laki-laki itu merupakan laki-laki paling aneh yang pernah kutemui. Tanpa malu dia mengajakku berjalan-jalan, memperkenalkan pada semua orang kalau aku ini adiknya. Entah apa motivasinya melakukan semua itu, yang jelas aku tidak bisa berbuat apapun. Aku cukup bersyukur tak ada orang yang mengenalku.

Pria yang mengaku berusia 26 tahun ini mengajakku ke berbagai tempat, bahkan tempat yang belum pernah aku kunjungi selama ini. Sepertinya ia lebih tahu daerah ini daripada aku.

"Apa kau berbohong?" tanyaku ketika aku dan dia tengah menunggu pesanan es krim.

"Berbohong? Apa maksudmu?" tanyanya balik, matanya tak teralih dari orang yang tengah mempersiapkan pesanan.

"Kau bukan orang baru, kan, di sini?"

Ia terdiam sejenak, menghela napasnya perlahan sebelum menjawab pertanyaanku. "Tidak benar-benar baru, dulu aku pernah ke sini. Hanya saja itu sudah lama sekali," akunya.

"Dari mana asalmu?"

"Ah, umm... Shivelon," bisiknya agak ragu.

Tunggu, sepertinya aku pernah mendengar tempat itu. "Kau..."

"Ssstt..." desisnya, memintaku untuk tidak mengatakan apapun.

Bertepatan dengan itu, pesananku datang, disusul pesanannya.

"Akan kuceritakan nanti," tutupnya sambil kembali menggandeng tanganku.

Dia mengajakku berjalan-jalan di hampir semua objek wisata hingga larut malam. Kupikir pria ini cukup baik, ia selalu menjagaku dan berbuat lembut padaku. Berbeda sekali dengan presiden yang cuek, dingin, serta menyebalkan. Setidaknya berjalan bersama Gilbert membuatku sedikit melupakan sosok menjengkelkan itu.

"Jadi, apa yang orang sepertimu lakukan di sini?" tanyaku tanpa basa-basi, aku sudah terlanjur penasaran.

Ia tak menjawabku untuk beberapa waktu, memilih menatap hamparan langit penuh bintang di atas kami. "Aku rindu tempat ini. Lagipula aku memiliki beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan di sini."

"Hei, bukankah sulit memasuki Aidelore sebagai orang..." aku berpikir sejenak. "...orang dari negaramu?"

"Aku tidak sebodoh itu," katanya. Laki-laki itu menatapku sesaat. "Kau tahu kota Airen?"

"Itu kampung halamanku!" teriakku spontan, mendengar kata 'Airen' membuat telingaku seketika peka.

"Benarkah? Berarti selama ini kita dekat?" Gilbert tertawa, menampilkan barisan giginya yang rapi. "Aku tinggal di dekat tembok menjulang itu, omong-omong."

"Oh ya? Sayangnya rumahku agak jauh dari 'tembok'," kataku melempar pandangan main-main ke arahnya.

Ia tersenyum. "Setidaknya masih di kota Airen."

Kami sama-sama terdiam, memilih merasakan hembusan angin yang perlahan menerbangkan helaian rambutku. Perasaan nyaman seketika merasuki seluruh jiwa. Hari ini merupakan hari yang sangat menenangkan bagiku, bahkan jauh lebih menenangkan daripada berendam di air hangat.

Aku tak menatap pria itu, tapi aku tahu bahwa ia tengah memandangku. Aku bisa merasakan pandangannya bahkan tanpa harus menoleh untuk memastikannya.

"Apa yang kau lakukan dengan lampu senter itu?" tanyanya tiba-tiba, membuatku terlonjak.

Sontak, ia tertawa melihat reaksiku.

"Tak ada yang lucu."

"Oke, oke." Ia mendeham untuk menetralkan suaranya. "Sungguh, apa yang kau lakukan dengan senter itu? Apa kau takut tidak bisa kembali ke rumahmu saat malam?"

Mr. PresidentWhere stories live. Discover now