Marchel"Presiden Marchel?" Aku menoleh ke arah Airen. "Siapa laki-laki dari Shivelon itu? Yang ada di belakangmu tadi."
"Namanya Albert, dia merupakan perdana menteri. Ada apa dengannya?" tanyaku.
Airen menggeleng cepat. "Aku seperti pernah melihat orang itu. Tapi sudahlah, berhati-hati saja dengan orang-orang dari Shivelon," ingatnya.
Aku mengangguk, sebelum keluar dari kamar, tak lupa mengunci pintunya, memastikan bahwa ia takkan bisa kabur untuk melakukan hal-hal konyol. Aku menghela napas panjang di depan pintu, sebelum berjalan mantap ke aula pertemuan.
Kedua tangan aku masukkan dalam saku, langkahku mantap, pandanganku lurus. Beberapa orang yang melintas membungkuk hormat. Aku mengangguk sebagai balasannya. Aku masuk ke lift untuk turun beberapa lantai.
Begitu aku masuk ruang pertemuan, semua mata langsung tertuju padaku. Aku mengira semua ini akan terjadi, sehingga aku sama sekali tak terganggu dengan hal itu. Aku tersenyum tipis sebelum berjalan menuju meja untuk mengambil segelas air.
Roland menghampiriku, koktail terakhir yang dikonsumsinya masih utuh setengah. Ia tersenyum penuh arti, ada juga pandangan jahil dari matanya.
"Pengantin baru memang masih hangat-hangatnya," ucapnya. Ia berkata bukan sebagai seorang perdana menteri, melainkan Roland yang menjadi kawanku sejak 20 tahun lalu.
Aku tersenyum mendengar godaannya, sebelum meneguk habis air mineral yang ada di genggamanku. "Maaf, agak sedikit tak nyaman tadi," ujarku.
"Ah, tenanglah, rata-rata kami sudah berkeluarga, jadi kami mengerti masa-masa indah pengantin baru." Ia tertawa. "Kalian benar-benar manis. Tetaplah bersikap seperti itu sampai tua nanti."
Roland kembali pamit, aku bisa melihat tubuhnya bergetar menahan tawa. Roland satu-satunya petinggi negara yang menyenangkan. Tak pernah membuatku terbebani.
Baru semenit hatiku tenang, muncul Albert, seakan membawa berton-ton rasa curiga dalam hatiku. Albert terlihat terhibur, ia kali ini tak membawa apapun. Tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya. Ia berdiri di hadapanku sambil menyeringai.
"Pertunjukkan yang bagus, mengalihkan perhatian semua tamu," katanya tajam.
Aku menatapnya tak kalah tajam, memberinya pandangan terburuk yang bisa aku berikan pada seseorang. Laki-laki itu tetap tidak peduli. Ia tetap melanjutkan ucapan tajamnya itu.
"Itu istrimu, kan? Dia benar-benar berani, apa urat malunya sudah putus?"
Tatapanku langsung tajam menghujamnya. "Jangan hina istriku," desisku.
Ia tertawa ringan, seakan mengejekku. "Astaga, kau ini pemarah sekali. Bukankah kau menikahinya karena dia keturunan Valvoshki? Kenapa kau jadi membelanya? Yang kau butuhkan hanyalah anak dari keturunannya, kan?"
Ia tadi mengatakan apa? Bagaimana ia tahu nama belakang Airen?
Aku menggeram, tangan sudah kukepalkan, urat-urat di sekitar tangan dan leherku menegang. Aku menahan amarahku, menahan diriku untuk tidak meninju wajah menyebalkannya. Aku harus bersabar mendengar hinaannya.
"Luar biasa sekali kau mengetahui nama belakang istriku, bukan orang biasa yang mengetahuinya. Kurasa kau memang bukan orang biasa..."
Laki-laki itu tersenyum menyebalkan. Ia berjalan mendekat, lidah berbisanya itu mengeluarkan kata-kata penuh racun yang membuatku ingin membunuhnya seketika. "Kau suka hadiahku, sepupu?" bisiknya.
***
Airen
Aku menghela napas panjang, menanti presiden di ruangan ini benar-benar membosankan. Yang kulakukan hanya duduk-duduk, mondar-mandir, serta mengagumi keindahan interior kamar ini. Mataku melirik ke arah salah satu lukisan besar di dindingnya. Tak kusangka, lukisan itu menarik seluruh perhatianku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. President
Aksi[First book of the trilogy] Kutukan. Darah. Ambisi. Tahta. 4 Hal yang tak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Hidup seorang pemimpin negara makmur bernama Aidelore. Bukan keinginannya untuk jadi pemimpin, tapi memang sudah tugasnya. -Marc...