Namaku Airen, Airen Steffani Valvoshki. Tapi orang lebih senang memanggilku Ai. Usiaku sekarang 16 tahun, dan aku kelas 2 SMA. Omong-omong, namaku sama dengan nama kota kesayanganku: Airen. Kota kecil yang damai di dekat perbatasan negara makmur, negara tercintaku, Aidelore.
Aidelore dipimpin oleh seorang presiden yang luar biasa, sangat bijaksana, bernama Kresaya Aidelore. Sayangnya saat ini sang presiden sedang jatuh sakit sehingga tidak bisa menjalankan pemerintahan. Tahta itu akhirnya ia mandatkan kepada putranya. Putra tunggalnya sangat berbeda dari sang presiden yang lembut. Dia bisa dikatakan orang paling ditakuti di seluruh penjuru negeri. Ia bahkan terkenal di penjuru dunia karena kehebatan, kejeniusan, dan keberaniannya dalam menghadapi apapun.
Marchello Gabriel Aidelore, jenderal besar tentara nasional. Dikenal dingin dan tak berperasaan. Sesuatu yang agak ditakutkan warga Aidelore jika ia memimpin adalah perlakuan kasarnya. Ya, banyak yang mengatakan kalau dia kebalikan dari ayahnya.
Pagi ini sang jenderal mengelilingi penjuru negeri, ini merupakan acara rutin yang dilakukan sebagai salah satu tanda pergantian pemimpin. Aku sebenarnya tak begitu tertarik dengan acara pawai keliling itu. Tapi atas desakan keponakanku yang menyebalkan itu, Irish, aku menyetujuinya. Semua sekolah saat ini diliburkan untuk menyambut kedatangan presiden baru, pemimpin baru di Aidelore.
Aku memilih menunggu pawai itu di dekat pohon. Cuaca pagi itu sangat cerah, bahkan terlalu cerah sampai bisa dikatakan panas. Aku menggaruk tengkuk sementara keponakanku, Irish, merengek memintaku untuk maju.
Aku mengusap kepalanya. "Irish, pawainya belum mulai," kataku berusaha sabar.
"Tante! Ayolah! Udah banyak olang! Nanti nggak kebagian tempat," rengeknya sambil terus menarik ujung bajuku. Hhh... anak kecil memang menyebalkan.
"Gampang nanti tante singkirin mereka," jawabku asal.
"Tante nggak boleh gitu!" Irish cemberut lucu, membuatku tak tahan untuk mencubit pipi gembilnya.
Tak lama, sebuah sirine yang menandakan kehadiran arakan itu berbunyi. Irish langsung menarik tanganku dengan seluruh kekuatannya, dan aku agak terkejut karena ia mampu menarikku. Gadis cilik yang satu ini memang benar-benar mengerikan. Aku tak tahu apa yang diberikan kakakku pada si kecil.
Ya, sesuai dengan janjiku, aku benar-benar menyingkirkan orang-orang yang menghalangi kami. Dengan cara apa? Itu rahasia. Intinya, kami sampai di tempat terdepan. Dan tentu saja, Irish bersorak gembira ketika kami berada di barisan terdepan.
Beberapa pertunjukan ditampilkan. Irish terlihat begitu senang, tapi tidak denganku. Aku bosan. Beberapa kali aku menggaruk tengkuk dan kepalaku. Sial, aku merasakan sesuatu yang tak nyaman lagi. Apa akan ada sesuatu mengerikan yang terjadi?
Aku memijat pelipisku yang terasa nyut-nyutan. Apakah 'kutukanku' ingin menunjukkan sesuatu? Mungkin kalian bertanya, apa yang kumaksud kutukan? Sebenarnya kutukanku bukanlah benar-benar sebuah kutukan. Ini merupakan kemampuan melihat penggalan masa depan, yang sayangnya penggalan masa depan yang buruk. Keluarga Valvoshki memang memiliki kemampuan seperti itu. Hanya keluargaku.
Aku sedikit iri kepada kakak laki-lakiku, Aiden, yang bisa melihat penggalan masa depan yang menyenangkan. Setidaknya ia tidak harus berteriak takut ketika bayangan itu muncul. Ia bahkan bisa melihat kehadiran istrinya dari kutukan itu.
DUAR! Sang Jenderal terjatuh dari mobilnya dan semua warga berlari. Aku sedikit shock melihat cucuran darah persis di hadapanku. Darah Jenderal. Ada seorang sniper di gedung itu. Ya, tidak salah lagi. Irish terlihat lebih shock. Kami berdua tidak bergerak dari tempat kami, hanya diam menyaksikan sang jenderal yang bercucuran darah tengah mengerang kesakitan. Mengerang kesakitan.
"Aah!" aku berteriak sambil terus memegangi kepalaku yang kesakitan. Beberapa orang warga tampak kaget melihatku, begitu pula dengan Irish dan seorang penjaga di dekat kami.
"Tante lihat sesuatu?" tanya Irish sambil menggenggam jemariku dengan jari mungilnya. Ia tampak khawatir, ia tahu aku baru saja melihat bayangan kutukanku.
Aku mengangguk. Lalu tersadar akan sesuatu, sang jenderal sedang berjalan menuju kemari. Aku memandang sebuah gedung menjulang di seberang jalan. Dari tempat itulah pelakunya hadir. Ya, tidak salah lagi! Aku memejamkan mataku mencoba mengingat sesuatu.
Dimana tempatnya...dimana tepatnya...dimana? Batinku.
Mataku kembali terbuka, dengan cepat aku menarik seorang penjaga.
"Maaf, aku ingin bertanya apa ada penjagaan di gedung?"
Penjaga itu langsung menepis tanganku dan menatapku garang. "Ini bukan urusanmu!" bentaknya kasar.
Aku menggertakkan gigiku kesal. Aku tak pernah dimarahi sebelum ini! Irish menggenggam tanganku dengan erat. Aku hanya menatapnya. Irish juga memiliki kutukan itu, ia bisa tahu apa yang akan terjadi dengan orang yang digenggamnya.
"Aku bisa bantu tante," katanya dengan tenang.
Tiba-tiba saja Irish berlari melewati penjaga menuju ke tengah-tengah pawai. Ia benar-benar membuat keributan di sana. Beberapa penjaga mencoba mengejarnya. Tapi aku tahu, Irish bukan seseorang yang mudah dikejar. Gadis itu berlari dengan kecepatan penuh menuju mobil sang jendral. Sementara aku? Aku tak akan diam tentu saja! Aku langsung berlari menyebrangi pawai yang kacau itu. Para penjagapun mengejarku. Tidak apa-apa, biar mereka melihat apa yang kukejar saat ini!
"Berhenti!" teriak para penjaga.
Penjaga itu tampak kewalahan mengejarku di antara kerumunan warga. Perawakanku yang mungil membuatku mudah menembus kerumunan itu. Dan itulah rahasiaku kenapa aku bisa sampai di barisan depan dengan sangat mudah. Menyingkirkan orang? Itu keahlianku.
Aku sampai di depan gedung itu dengan selamat -tanpa ada satu penjaga pun yang bisa menyentuhku-tapi, aku harus berhati-hati dengan pasukan penjaga itu. Dengan terburu-buru, aku langsung masuk ke dalam gedung tua, naik ke lantai 3. Aku tahu bahwa sniper berada di lantai 3.
Langkah kaki para penjaga dapat kudengarkan, tapi tak masalah dengan itu, yang penting sniper itu bisa kuhentikan.
DUAK! Aku menendang pintu dan mendapati seseorang tengah bersiap dengan senjatanya. Sniper itu! Ia menatapku terkejut, ia hendak melawanku, namun tidak jadi karena melihat beberapa pasukan penjaga yang datang.
Secara mengejutkan, sniper itu memilih melompat dari jendela.
"Tidak!" teriakku yang dengan cepat menggapai orang itu sebelum terjatuh. Dan aku berhasil menggapai tangannya.
Aku tahu, sniper itu jahat, tapi amat tak adil jika ia mati begitu saja. Sayangnya, laki-laki itu memang berniat bunuh diri. Entah bagaimana, tangannya langsung menjangkau tanganku dan melukainya dengan pisau yang ia simpan dalam saku.
"Aaaahhh...!" aku berteriak dan dengan refleks melepaskan peganganku. Laki-laki itu pun jatuh, tepat dengan kepala yang lebih dulu terbentur trotoar.
Aku meringis menahan pedihnya luka sayatan yang laki-laki itu tinggalkan di punggung tanganku. Beberapa pasukan penjaga langsung membawaku pergi. Atau mengamankanku?
"Kau membuat keributan, nak. Sayangnya kau harus diamankan," kata salah seorang pasukan penjaga.
Aku memutar bola mataku malas, apa ia tak melihat apa yang kulakukan? Atau dengan lukaku yang terus mengeluarkan darah?
"Hei, aku mencoba memperingatkan soal sniper itu," kataku.
"Seharusnya dengan cara yang baik dan tidak mengundang keributan,"
Aku mendengus. "Aku sudah melakukannya! Lagipula apa kalian akan percaya dengan ucapanku!"
Semuanya terdiam.
"Tetap saja, kau akan menghadap tuan Presiden Marchello," ucap salah seorang di antara mereka yang membuatku langsung bergidik.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. President
Aksi[First book of the trilogy] Kutukan. Darah. Ambisi. Tahta. 4 Hal yang tak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Hidup seorang pemimpin negara makmur bernama Aidelore. Bukan keinginannya untuk jadi pemimpin, tapi memang sudah tugasnya. -Marc...