Ros Menangis
Setelah berdebat panjang akhirnya kami memutuskan bahwa Ali dan Masyi memanggil abuya dan umi dengan sebutan kakek dan nenek. Abuya bersikeras ingin Masyi dan Ali menjadi cucu mereka bukan keponakan mereka. Memang untuk umur abuya dan umi yang sudah tua mereka akan lebih merindukan keberadaan cucu di dalam kehidupan mereka. Lagi pula mereka sudah memiliki banyak keponakan.
"Lalu saya ini bukan saudaranya Abang?" tanya Salman bergurau.
Abuya tertawa, tentu saja Bang Salman akan tetap sebagai adiknya tapi Masyi dan Ali adalah cucunya.
"Ali tidak rewel ya Yu?" tanya Umi pada Kak Ayu.
"Iya Mi. Asalkan tidak bosan dia tidak akan rewel."
"Berbeda dengan Masyi. Masyi lasak persis seperti Ima. Ribut sekali sejak kecil. Juga hobi menangis," tambah Kak Ayu malah mengataiku. Ia tertawa melihat muka masamku.
Abuya dan umi sibuk dengan cucu mereka. Sedangkan aku dan kak Ima sibuk di dapur menyiap makan siang juga cemilan lainnya. Di dapur kami dibantu oleh Mpok Arum yang biasanya sering di panggil Kak Ayu jika di rumah sedang ada acara atau kedatangan tamu.
Semua masakan di sajikan di atas meja makan. Hanya ada beberapa menu makanan, karna kalau terlalu banyak nanti malah kami yang akan dimarahi oleh Abuya. Pak Tua tetangga kami juga ikut diajak ke rumah untuk berkumpul bersama keluarga kami. biar bagaimanapun Pak Tua sering baik pada kami. Dan kami juga sangat menghormatinya.
"Dulu aku juga pernah ke Timur Tengah saat istriku masih ada. Aku mengadu nasib sebagai TKI. Istriku juga seorang TKI, ia senang sekali dengan unta dan unta-lah yang mempertemukan kami di negri musim panas itu," jelas Pak Tua menatap kosong langit-langit rumah.
"Tentu Bapak sangat merindukan istri Bapak. Siapa juga yang tidak akan merindukan cinta sejatinya," kata Abuya tersenyum haru.
"Tapi sudahlah. Untuk apa pula kita bersedih hari ini. Bukankah Ima sudah lulus sarjana hari ini? Mari kita berbahagia untuk hal baik itu." Pak Tua tampak bersemangat kembali mengangkat gelas sirup marjannya tinggi-tinggi. Seakan yang ia minum adalah air beralkohol saja. Pak Tua tetap terlihat bahagia di masa tuanya. Aku selalu senang menyaksikannya, dia lelaki yang hebat.
Ponselku berdering menghentikan lamunanku menatap senyum tulus Pak Tua. Aku meminta izin untuk mengangkat panggilan ponselku. Nama yang tertera di layar ialah nama Ros. Ros menghubungiku. "Ada apa Ros? Kau baik-baik saja bukan? Dari tadi aku mencoba menghubungimu."
Terdengar suara Ros yang terisak di seberang sana. Apakah Ros menangis?
"Kamu di mana Ros?" tanyaku khawatir.
"Gua di kantor LM, cuma gua sendiri di sini," jawab Ros terbata-bata.
"Kenapa? Ada apa Ros?" tanyaku panik, Ros tampak dalam masalah.
Ros menggeleng tak mampu menjawab, meski memang tak terlihat padaku.
"Aku akan ke sana, jangan khawatir," kataku meyakinkan Ros.
Aku memohon pamit untuk kembali ke kampus. Aku menjelaskan pada Kak Ayu kalau Ros membutuhkan bantuanku. Mungkin sekarang dia berada dalam masalah. Kak Ayu memaklumi dan meminta Zain untuk menemaniku. Biar bagaimanapun hari sudah sore, Ditakutkan aku akan pulang gelap nantinya.
"Cepatlah Zain! Aku khawatir."
Zain mengangguk. Tapi ia tidak bisa mempercepat laju mobilnya. Biar bagaimanapun melaju cepat di jalanan ibu kota sore-sore begini adalah hal yang mustahil.
Sejam kemudian kami sampai di kampus. Sudah jam 05.00 sore dan suasana kampus juga mulai sepi. Hanya ada beberapa mahsiswa yang memiliki mata kuliah malam atau kegiatan organisasi yang terpaksa dilaksanakan malam hari di antara padatnya jadwal kampus.
"Ros!" panggilku pada Ros yang duduk termenung di pojok ruangan kantor LM. Matanya sembab membengkak. Rambutnya yang tadinya tersanggul rapi sekarang berantakan. Make up nya sudah tak jelas lagi bagaimana. Ros terlihat sangat menyedihkan. Entah apa yang terjadi padanya tadi. "Ada apa dengamu Ros?"
Ros menatap mataku lekat, lalu ia menghambur ke dalam pelukanku. Seketika hatiku terasa begitu sakit mendengar isak tangis Ros. Aku tidak pernah menyaksikan Ros si gadis tomboi menangis seperti ini. "Menangislah dulu Ros! Aku tau kau bingung harus menumpahkan semua masalahmu pada siapa. Aku sahabatmu Ros, aku akan selalu ada bersamamu."
"Mereka gak sayang sama gua, Ima. Gak ada yang sayang sama gua."
Aku tidak menjawab, tetap mengelus-elus kepala Ros. "Kita pulang ya... nanti setelah di rumah kamu bisa menceritakan semuanya padaku."
Ros menggeleng. "Pasti di rumah lu banyak keluarga lu, gua gak mau."
"Kita akan mencari tempat penginapan Ros."
Ros tampat berfikir sesaat lalu mengangguk.
Aku menuntunnya berdiri dan berjalan menuju mobil. Aku meminta Zain mencari tempat penginapan yang nyaman untuk kami tempati malam ini.
Aku juga menghubungi Kak Ayu dan menjelaskan semuanya padanya. Aku tidak bisa menetap di rumah malam ini. Ros membutuhkanku. Kak Ayu mengerti dan mengizinkanku untuk tetap bersama Ros.
Zain pulang ke rumah mencarikan baju ganti untuk Ros juga untukku. Di rumah ia ditanyai kembali oleh Kak Ayu mengenai Ros. Wajar saja, Kak Ayu pasti khawatir dengan keadaan Ros. Biar bagaimanapun Ros sering bermain ke rumahku. Sempat sekali datang mengunjungi Ali dan Masyi, tapi akhirnya malah mebuat mereka menangis. Entah apa yang dilakukannya pada bayi Kak Ayu.
"Tidak tau Kak. Tadi aku melihat wanita itu berantakan. Menurutku masalah keluarga," jelas Zain singkat. Ia memang tidak tau apa-apa tentang Ros, ia pernah bertemu Ros hanya sekali ketika mendatangi Ima di kampus saat ia akan berangkat ke Timur Tengah. Pertemuan keduanya tadi ketika menemani Ima mencarinya. Tapi mendengar penjelasan singkat Ros, ia agak paham dengan masalah Ros.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jauh di Lengkung Pelangi (TAMAT)
Ficción históricaSemua yang terjadi memang mesti di ikhlaskan. Tak patut bagi kita yang hanya seorang hamba menuntut banyak dari apa yang diberi dan mengeluh dari apa yang ia kehendaki. Disinilah aku belajar dari Sembilu, si gadis kecil yang tak pernah menangis, tak...