Bunga

10 1 0
                                    

[Len POV]

Aku menggandeng tangan Rin dan menuntunnya perlahan ke tepi sungai. Akan sangat sulit menemukan bunga mawar di tempat berair seperti ini. Namun, karena kebohonganku dan ia mempercayainya, mau tidak mau aku harus mencarikan ia bunga. Jika bukan bunga mawar, setidaknya lebih baik dan sepadan dengan bunga mawar.

"Rin"

"Ya, Len?" jawabnya.

"Kau hari ini ke rumah nenekmu lagi?" tanyaku.

"Mn!" ujarnya semangat.

"Kau, apa kau tidak takut jalan sendirian ke rumah nenekmu? Kau, kau, ingat kejadian yang kemarin kan?" ujarku.

Seketika tangan Rin menggenggam tanganku dengan erat, seolah tak ingin melepaskanku. Aura ketakutan seketika muncul di sekelilingnya. Wajahnya tertunduk perlahan.

"Aku...masih takut..." ujarnya.

Aku menatap sendu tudung yang menutup kepalanya. Kepalanya menunduk. Kedua tangannya memegang tanganku erat. Entah seberapa besar ketakutan yang ia simpan dalam tubuh kecil nya ini, bagaimana tidak, serangan kemarin cukup untuk membuat anak perempuan seperti dia trauma. Kebanyakan anak akan menolak untuk berpergian kembali karena kejadian itu. Namun, dia berbeda. Dia memberanikan dirinya untuk keluar dan menemui neneknya yang rumahnya cukup jauh di desa seberang.

Aku mengulurkan tanganku. Ingin rasanya aku mengelus puncak kepalanya. Tapi aku tahu, aku cukup sadar diri. Aku tidak bisa.

"Rin"

Rin, dia diam tidak bersuara. Selang beberapa saat, setitik air mata jatuh menyentuh permukaan tanganku dengan lembut.

"A-aku..." ia mulai berucap dengan sesenggukan.

Aku menyalahkan diriku karena aku telah mengungkit kejadian hari itu. Ia datang dengan wajah riang gembira pagi ini, menyapaku, dan sekarang aku membuat dia menangis.

"Rin, maafkan aku. Tidak seharusnya aku berbicara seperti itu. Maaf" ujarku tulus.

Dia menggengam tanganku semakin erat. Dan sekejap ia mengangkat kepalanya.

"A-aku tahu aku cengeng, aku sangat takut, aku takut Len. Aku benar-benar takut!" ujarnya. "Tapi aku tidak mungkin berdiam diri di rumah karena hal kecil seperti itu! A-aku juga ingin menjadi pemberani seperti dirimu!" sambungnya.

Aku terkejut mendengar ucapannya. Kata-katanya masuk dengan sopan melalui telingaku dan mengetuk pintu hatiku. Ya, dia berbeda, pikirku.

"Ha? Hahahahahahahahaha....." aku tertawa terpingkal.

"Kau menertawakanku? Kau berani menertawakan keberanianku?! Kau jahat Len!!" ujarnya sambil memukul-mukul ringan pundakku.

"Lap dulu air matamu, baru kau bisa memarahiku seperti tadi" ujarku terkekeh.

"LEN!" ujarnya sambil mengelap kedua matanya yang basah.

Aku mengambil sapu tangan yang muncul ada di dalam sakunya. Mengambilnya, melipatnya dengan rapi.

"Kau ada ini, gunakan"

Aku menyingirkan kedua tangannya. Mengelap lembut matanya yang basah. Pipi dan hidungnya memerah karena menangis. Aku terdiam sejenak melihat wajahnya yang bulat seperti buah persik.

'Oh Tuhan, aku kagum dengan ciptaanmu yang satu ini', batinku dalam hati.

"Aku akan melindungimu" ujarku.

"Ha? Apa maksudnya?" ia memiringkan kepalanya, tanda tak mengerti.

"Aku akan melindungimu, Nona" ujarku seraya mengulurkan tangan kananku dan memberikan sapu tangan yang sudah terlipat dengan rapi. 

The Wolf that fell in love with Little Red Riding HoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang