KD 1 [Donat lagi?]

107 10 3
                                    

Seorang gadis kecil berkepang kuda dengan badan gempal berisi tampak berjalan dengan riang menuju sebuah toko kue langganannya. Sesekali rambut sebahu itu melambai-lambai tertiup angin kencang. Semilir angin itu membawa lembaran dedaunan kering kekuningan.

Gadis kecil itu mendorong pintu toko dengan tangan pendeknya.

"Paman, aku beli donatnya 10," ucapnya kepada sang pemilik toko yang memiliki perut buncit juga kepala plontos tertutup topi baret. Senyum ramahnya timbul saat pelanggan setianya kembali membawa beberapa koin perak untuk ditukar.

"Seperti biasa?"

Gadis itu mengangguk semangat. "Tentu saja."

"Tunggu ya," ujar pemilik toko senyuman riang memamerkan gigi emasnya yang baru dipasang.

Gadis itu duduk di kursi kayu yang belum di pernis. Kaki bulatnya itu terayun-ayun mengisi relung kosong bawah kursi. Netranya menjelajahi seluruh isi ruangan yang memiliki ornamen vintage, khas zaman dulu. Aroma lembut khas kue baru matang menguar memanjakan hidung.

"Sepi sekali." Gumaman itu  keluar dari bibir mungilnya.

Sang pemilik toko yang mendengar pun bersuara. "Mungkin mereka sedang sibuk," cetusnya seraya memasukan satu kotak donat dengan satu rasa ke dalam kantung kertas berlogo kue.

"Orang dewasa memang suka sibuk, tidak sepertiku."

Pemilik toko tersenyum. "Nanti kalau kau sudah dewasa pasti akan merasakan kesibukan itu, bahkan untuk sekadar berkumpul dengan keluarga pun susah." Helaan nafas berat keluar seolah memiliki beban berat yang ia tanggung.

"Ini donatmu," lanjutnya menaruh kantung tersebut di atas meja.

Gadis itu tersenyum gembira begitu donatnya telah siap, perkataan sang pemilik toko bagai angin lalu yang hilang begitu saja dari pikirannya. Tangannya terulur memberikan beberapa koin kepada pria tua itu.

"Jangan lupa untuk kembali lagi." Seperti biasa sebuah kalimat formal keluar kepada setiap pelanggan.

"Hehe, pasti aku akan kembali. Donat ini adalah kesukaanku." Gadis itu tertawa menampilkan lesung pipinya yang manis.

"Ah, iya. Kau tahu kalau besok akan ada lomba makan donat?" tanya pemilik toko membuat gadis itu menghentikan langkah kakinya.

Kepalanya memutar ke belakang bagai belalang sentadu. "Lomba makan donat?" ulangnya memastikan dengan mata berbinar cerah.

"Ya, letaknya di lapangan kota. Dekat dengan sekolahmu bukan?"

"Pasti kau akan ikut." Pria itu menebak dengan senyuman tipis.

"Pasti aku ikut. Uhm, tapi aku akan izin dulu ke Ibu."

"Semoga beruntung, Nak."

"Hehe, terima kasih, Paman. Kalau begitu aku pergi dulu ya, dadah." Tangan kecil itu melambai sebagai salam perpisahan.

"Hati-hati di jalan."

~•●•~

"Ibu, aku pulang!" teriaknya dengan suara membahana mengisi udara-udara dingin di atap rumah.

Tidak lama setelah gema teriakan berhenti, seorang wanita setengah baya datang dari arah dapur dan berkacak pinggang. "Ibu sudah bicara berkali-kali, jangan berteriak di rumah," tukasnya menahan gemas.

Gadis itu menunjukan gigi kelincinya. "Maaf, Ibu. Habisnya aku sedang senang sekarang."

Sang Ibu mengangkat kedua alisnya. "Senang kenapa? Kamu dapat diskon donat dari Paman?" Menduga-duga.

Gadis itu menggeleng. "Bukan. Ibu tahu tidak kalau besok akan ada lomba makan donat di lapangan kota?" Dia bercerita dengan antusias.

"Yang benar? Perasaan Ibu tidak pernah mendengarnya."

"Aku juga baru tahu tadi dari Paman donat."

"Ah, iya." Gadis itu mengangkat kantung di tangannya dan memamerkan kepada sang Ibu. "Tadaa, banyak 'kan." Bibirnya tersenyum bangga.

Sontak wanita itu melotot."Kenapa banyak sekali? Ibu 'kan sudah bilang jangan banyak-banyak, cukup lima saja."

"Ibu, mana kenyang aku kalau makan lima. Aku maunya 10." Gadis itu cemberut.

"Tidak boleh, sini mana donatnya biar Ibu simpan."

Dengan cepat gadis itu menyembunyikannya ke belakang. "Tidak. Ini punyaku!" Setelah mengataka itu ia membawa kakinya berlari menaiki tangga kayu menuju kamarnya.

Sang Ibu yang kalah cepat pun turut berlari menyusul putrinya dan berhenti di depan pintu kayu mahoni yang terhias bunga-bunga kering.

"Buka pintunya, kamu tidak boleh makan donat banyak-banyak." Tangan kuning langsat itu terayun mengetuk pintu keras tersebut yang terkunci dari dalam. 

Sedangkan di dalam sana, si gadis kecil duduk di tepi ranjang memeluk kantung itu erat seakan takut kehilangan.

"Tidak mau!" Dia memekik.

"Buka pintunya dulu, Ibu mau bicara."

"Aaaaa, tidak mau, Ibu ...!"

"Sayang?" panggil Ibunya dengan nada lebih lembut supaya anaknya menurut.

"Tidak mau, ini donat punyaku, tidak boleh simpan."

"Nanti donatnya nangis loh sering kamu makan." Sang Ibu mencoba menakuti.

Namun, sayangnya gadis itu tak mendengarkan dan malah membuka kantung kertas itu. Dengan lihai mencomot satu butir donat dan memakannya dalam dua kali suapan. Sangat lahap membuat sudut bibirnya kotor terkena glaze yang dingin.

"Buka pintunya, sayang. Ibu mau masuk."

Kalimat itu hanya dibalas keheningan si pemilik kamar.

Menunggu beberapa menit hingga tak ada suara lagi dari luar, baru membuat gadis kecil itu menghela nafas lega. "Untung saja Ibu tidak memaksaku."

Dia makan dengan sangat lahap, hampir menghabiskan separuh isi donat itu. Padahal makanan bulat itu berukuran besar untuk anak kecil sepertinya.

Saking sukanya dengan donat, kamar miliknya penuh dengan poster bergambar makanan itu. Dimulai dari coklat, strawberry, keju, taro, kopi, dan yang paling besar matcha, yang paling digemarinya.

~•●•~

To Be Continue

Kutukan Donat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang