04 🎤 Bimbang

1.5K 419 33
                                    

Masih kuat menyanyinya?

Raka masih memutar bolpoin yang ada di tangannya. Jujur pertanyaan Mama Laksmi semalam membuat paginya sedikit berantakan. Entah ini untuk yang ke berapa kalinya dia harus menjawab dengan jawaban yang sama.

"Bang, mama itu sudah nggak muda lagi. Terima kasih kamu berusaha menggantikan papa untuk membantu mama membiayai sekolah kedua adikmu, tapi sekarang kamu sudah harus mikir masa depanmu sendiri. Kapan kamu mengenalkan calon istrimu kepada mama? Mama khawatir omongan orang itu menjadi nyata bahwa kamu tidak tertarik pada wanita. Jangan Bang, dosa itu."

Calon istri? Raka mengusap keningnya yang berkerut. Dia masih enggan beranjak dari tempat duduk di ruangannya setelah menyelesaikan tugasnya sebagai dokter poli pagi ini. Harusnya dia sudah mulai berputar, visite para pasiennya, tapi lagi-lagi tubuh dan otaknya masih belum sinkron.

Bukan perkara penyuka sesama jenis yang beredar di lingkungan rumah tinggal mamanya, Raka bahkan sudah mengetahui selentingan itu sejak dia memutuskan untuk mengambil PPDS delapan tahun yang silam. Masalahnya bukan karena dia tidak ingin menikah, tapi belum menemukan wanita yang pas dan siap berkolaborasi dengan seabrek kegiatannya.

Orang bilang, dokter menikah dengan dokter adalah sebuah solusi karena keduanya sefrekuensi. Namun, tidak dengan Raka. Bahkan dia tidak menginginkan bisa bersanding dengan dokter karena tidak akan ada bedanya nanti dia berada di rumah atau di rumah sakit. Pembahasannya hanya akan berputar tentang itu, itu dan itu saja.

"Ma, abang belum menemukan yang pas." Sedikit membohongi hati, bibir Raka meluncurkan kalimat yang sama dengan sebelumnya saat pertanyaan yang sama itu menyapanya kembali dari sang mama.

"Di rumah sakit kan banyak dokter koas atau mereka yang internship. Masa nggak ada yang menarik perhatianmu sama sekali. Perawat wanita yang masih lajang juga banyak. Standar istri seperti apa yang kamu pasang untuk bisa menjadi pendampingmu?" Raka sampai harus menahan napasnya mendengar rentetan kalimat panjang dari sang mama yang keluar tanpa jeda.

"Mama tidak mensyaratkan apa pun untuk menjadi menantu mama, yang penting dia wanita, seiman dengan kita. Ingat Bang, Allah menciptakan manusia itu dengan ketidaksempurnaan. Semakin kamu menginginkan yang sempurna, semakin sulit kamu menemukan wanita seperti yang ada dalam checklist calon istrimu." Apa lagi yang bisa Raka lakukan selain diam jika sudah seperti ini.

"Kamu juga harus tahu, meskipun sekarang sudah menjadi seorang dokter spesialis bukan berarti kamu tidak memiliki cacat sebagai laki-laki. Menikah itu untuk menyempurnakan kekurangan kalian, apa yang menjadi kurangmu bisa dilengkapi oleh istrimu kelak, demikian juga sebaliknya."

"Ma__"

"Biarkan mama bicara, usiamu itu memang baru tujuh belas tahun, mama tahu. Tapi jangan dilupa dua kalinya." Mama Laksmi mendengus pelan sebagai tanda kecewanya.

Jangan pernah membantah ucapan ibu walau hanya dengan kata, 'ah'. Raka masih mengingat dengan pasti penggalan riwayat hadis itu.

"Ma, maaf, maaf, kalau abang harus menyela ucapan Mama. Abang sayang sama Mama, jelas abang ingin menghadirkan calon menantu yang terbaik untuk mama. Bukan berarti di rumah sakit tidak ada wanita yang bersedia menjadi istri abang, tapi, memang abang tidak menginginkan memiliki pasangan dari tenaga medis."

"Memangnya mengapa dengan mereka? Tidak ada yang salah kan? Justru kamu akan lebih enak, setidaknya kalian nyambung ngobrolnya dari awal."

"Tidak ada yang salah, hanya saja abang ingin yang berbeda. Untuk saat ini abang masih meraba, tolong Mama mengerti. Terlebih karena jodoh, mati dan hidup seseorang sudah tertulis."

More Than Words [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang