Home Made : 11. Dark

3.1K 335 74
                                    

Siang hari hingga menjelang petang sepiring makanan beserta air di atas nampan tak sekalipun tersentuh. Masih utuh di sana dan mendingin karena udara. Mungkin makanan itu pun sudah basi dan tak bisa di makan.

Bukan ingin menyia-nyiakan makanan, hanya saja perut juga lidahnya tidak memiliki selera ataupun tertarik untuk menyuap seberapa lezat makanan itu. Jimin terus diam menekuk kaki di atas ranjang.

Kaus tipis menjadi satu-satunya yang melekat menghalau sepasang mata untuk melihat bebas lekuk tubuhnya. Ia tidak bicara sejak semalam, mengunci bibir meski pembuat amarahnya mengajak ia berbincang.

Jeongguk sedang pergi dan Jimin ditinggal seorang diri. Ia tidak bisa kemanapun dengan rantai membelenggu kaki. Ia juga sudah menahan rasa buang air kecil sejak satu jam lalu. Rantainya digembok menjadi pendek. Yang ia lakukan hanya bisa berguling di ranjang.

Perut yang melilit lapar tak ia indahkan. Ia terlalu merasa tertekan, marah dan kesal akan situasinya sekarang. Mengisi perut bukan hal yang ia utamakan.

Manik cokelat tuanya sudah mengamati seluruh penjuru rumah dimana ia berada. Rumah kayu dengan perabotan secukupnya. Jimin hanya mengetahui tempat ini berada di pinggir pantai entah pantai apa. Lautan yang memamerkan lembayung senja di atasnya sangat indah, sayang Jimin bukan dalam situasi yang dapat mengagumi karya cantik sang pencipta.

Suara pintu yang dibuka dilirik kecil oleh kelereng cokelat tua dari ujung mata. Ia diam tak bergerak mengamati orang yang masuk dan kembali mengunci pintu.

"Aku pulang, Jimin,"

Ia tatap pemuda brengsek yang sudah menahannya di tempat antah-brantah. Melepas tas juga sepatunya di ujung ruangan. Senyum kecil di bibir tipis hanya semakin membuat dadanya panas.

"Kau tidak makan?" Pemuda itu bertanya setelah melirik nampan yang masih utuh. "Tidak masalah, kau akan makan jika sudah lapar,"

Ucapan enteng itu membuat Jimin berang. Ia melempar bantal pada Jeongguk, semua bantal yang berada di atas ranjang.

"Lepaskan aku!" teriaknya lantang. Wajah memerah marah menjadi tontonan menarik bagi mata bambi untuk diperhatikan. "Kau sudah gila dengan melakukan ini padaku! Apa kau tidak takut di penjara? Ini penculikan Jeongguk. Kau menculikku dan berbuat bejat kepadaku!"

Jeongguk menepis semua bantal yang terlempar padanya. Pemuda Jeon berdiri memperhatikan wajah amarah yang amat menarik minatnya untuk ia rekam baik-baik.

"Penculikan? Aku sudah bertanya ingin ikut atau aku bawa dengan paksa. Dan kau menyerang ku, Jimin. Itu bukan salahku membawamu seperti malam itu,"

"Bullshit!"

Raut muka berubah drastis. Jimin terkesiap namun kembali mempertahankan wajah garang. Jeongguk menatapnya dengan dingin, rahangnya mengeras.

"Jaga bicaramu, manis,"

"Kau bajingan sialan!"

Secepat itu parasnya dicengkeram jari-jari panjang. Jimin terjerembab jatuh ke belakang. Tak ada teriakan atau dorongan karena ia terlalu terkejut dengan gerakan tiba-tiba. Jeongguk mencengkeram pipinya dengan kencang.

"Jaga.bicaramu.mengerti?" setiap penekanan membawa dingin baru di punggung Jimin. "Ssssh.... bukankah bibir ini lebih cocok jika mendesah. Seperti kemarin kau mendesah sangat indah. Ahh-ahhh...Jeongguk sudah ahh!"

Mata terbelalak lebar, ucapan kotor itu membuat amarah Jimin memuncak. Tangannya mendorong Jeongguk, menampar wajah pemuda itu dengan keras. Suara nyaring dari telapak tangan dan kulit pipi sebagai bukti kencangnya pertemuan itu.

Home Made | KookMin [Dalam Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang