Home Made : 18. You

3.9K 296 104
                                    

Semilir angin menerpa wajah manis, membelai kulit putih susu dengan lembut seakan tahu jika akan ada seseorang yang mencabik apapun di muka bumi jika kulit itu terluka sedikitpun.

Jimin tengah melihat hamparan laut di kursi depan teras rumah menunggu Jeongguk pulang. Mengamati seisi pulau mulai membosankan jadi ia memutuskan untuk duduk memperhatikan laut dengan ombak-ombak kecilnya menyapa pantai.

Sejak pagi hingga petang hari ini ia sendiri, jemarinya tak pernah berhenti memilih ujung gaun sembari memikirkan nasibnya saat ini. Meskipun ia tidak lagi di rantai, tetapi ia masih menjadi tahanan di pulau entah dimana.

Jimin menjadi takut jika hingga ia mati hanya Jeongguk yang tahu atau bahkan lebih buruk pemuda itu meninggalkannya tanpa kembali. Jimin memikirkan banyak hal, mengenai rasa ingin memiliki yang Jeongguk utarakan. Jika itu sudah terkikis oleh waktu dan mulai bosan, Jimin akan berakhir menjadi sendirian.

Dihari akhir itu ia bertanya-tanya apakah Jeongguk akan melepaskannya atau bahkan tega meninggalkannya di sini seorang diri. Membusuk karena kelaparan dan kehilangan akal.

Karena sesungguhnya Jimin mulai takut untuk pergi.

Jika ia dilepaskan, apakah ia akan memiliki kehidupannya sebelum ini? Pekerjaannya saja mungkin tidak dapat kembali, apartemennya, kucing kecilnya yang entah bagaimana keadaannya sekarang, lalu keluarganya. Jimin rindu sekali pada adik-adiknya yang manis tidak peduli seberapa keras mereka membuat Jimin bekerja untuk membiayai semua tagihan sekolah.

Jeongguk tidak pernah mau membahasnya lagi setelah insiden pelemparan ponsel karena ia dicurangi. Pemuda itu tidak pernah mau diajak berdiskusi mengenai keluarga Jimin.

"Kau bahkan tidak mendengar suara keras dari heli yang mendekat,"

Tubuh Jimin tersentak, kepala menoleh pada sumber suara di sebelah kanan. Ia segera berdiri begitu melihat Jeongguk sudah berada di ambang teras.

"Apa yang kau pikirkan?" Pemuda itu mendekat, mengecup ujung hidung Jimin tanpa izin, "Seharusnya kau menyambutku dengan senyuman dan sedikit ciuman di sini," jari telunjuknya menyentuh bibir tipis, berharap Jimin menciumnya setelah perjalanan jauh.

"Apa kau tidak merindukanku?"

Jimin tahu pipinya sudah berubah kemerahan, ia berjinjit untuk mengecup bibir sesuai keinginan Jeongguk. Jantungnya bertalu pada sentuhan sekilas inisiatifnya, Jimin menjauh setelah dua detik namun rengkuhan pinggang dan telapak tangan di belakang kepala memaksanya kembali mempertemukan bibir dengan ketebalan berbeda.

Bibir tipis meraup miliknya, mengecup dan menghisap tebal bagian bawah bergantian dengan atas. Jimin menutup matanya, kedua tangan mencengkeram kaus di pinggang Jeongguk.

Tubuhnya bergidik ketika kembali lengan Jeongguk menekan agar bagian tubuh depan tak memiliki lagi ruang, saling menempel dengan satu keras menekan di perut bawah Jimin.

Suara cecap yang semakin memenuhi telinga membuat tubuh mungil Si manis meremang bukan main. Ia tidak bisa menjauhkan diri meski ia ingin, belakang kepalanya ditahan untuk terus berada di posisi yang sama sementara bibirnya habis dimakan Jeongguk.

Pemuda itu mulai menggeram, meremas pinggul Jimin menjadikan rapatnya tubuh mungil sebagai tumpuan dari nafsu yang menggebu. Jimin adalah seorang manusia satu-satunya yang membuat Jeongguk ingin serakah.

"Enghh..." lenguhan Jimin menyulut emosi yang sudah membara. Tatapan yang semula berada di balik kelopak membakar Jimin dengan lecut api dari birahi. Pemuda itu menghisap bibir bawah Jimin dan melepasnya dengan tak rela.

"God... I can't stop myself," ibu jari menekan bibir yang telah dibuat bengkak dan begitu basah. Jimin lebih menggairahkan dari apapun di dunia ini. Lengan di pinggang mengerat tak rela sedikitpun membiarkan si kecil mungil menjauh darinya.

Home Made | KookMin [Dalam Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang