Home Made : 15. Sky

2.9K 293 104
                                    


Angin beraroma asin menerpa hidung kecil yang memerah karena dingin. Cukup kencang membelai wajah manis Park Jimin yang kaku berdiri memandang luas laut yang mulai membiaskan cahaya jingga dari langit sore.

Dari coklat tua yang indah sedang bersaing dengan ciptaan lain dari Sang Esa. Mengadu keelokan dari entitas berbeda yang berasa di dunia. Jimin melangkah kecil mendekati air yang tergulung tenang ke tengah lalu kembali ke atas pasir. Kaki-kaki telanjang merasakan butiran yang kasar namun tak cukup menyakiti kulitnya.

Tarikan pelan di perut membuat langkahnya tertahan. Kehangatan yang menguat di punggungnya menjadikan satu-satunya manusia yang ia tahu bersamanya sebagai orang yang menghentikan keinginan lebih dekat dengan laut.

"Jangan terlalu dekat. Air laut akan membuat luka di kakimu terasa perih,"

Ia mendongak, rupa pemuda tampan yang tersenyum padanya tak ia balas dengan keramahan lain. Jika pun tampak sangat tenang namun Jimin tidak ingin merasakan kemarahan yang membuat kebebasan belenggu kakinya hanya sekejap mata.

Jaket yang melotot di lengan kembali pada bahu sempit. Jeongguk mengecup leher yang masih terdapat ruam-ruam kebejatannya. Menempatkan dagunya untuk bersandar di bahu Jimin.

Harga yang mahal untuknya keluar dari rumah kayu tidak akan Jimin sia-siakan. Ia mengangguk dan kembali memperhatikan langit jingga dan laut yang berselaras. Erat pelukan Jeongguk dibiarkan semau pemuda itu.

"Kau harus duduk, kau kelelahan," rambutnya yang mulai panjang di sisir hingga belakang telinga. Jimin sekali lagi mengangguk dan mendudukan dirinya setelah Jeongguk membuat satu tempat duduk khusus di pangkuan.

Jika boleh jujur, ia memang sangat telah dan ia tidak akan mau duduk di pasir yang kasar jika pun Jeongguk memaksanya. Itu hanya akan membuat rasa perih dan ngilu semakin menjadi buruk. Ia duduk menghadap ke lautan, berusaha sekeras mungkin menampik ingatan setengah jam lalu di mana di pangkuan yang sama mendesah dan menjadikannya pria tidak bermoral.

"Cantik," lirihnya pada lautan yang luas.

"Kau lebih cantik dari apapun,"

Jimin bersandar pada bahu Jeongguk, menutup matanya karena letih sudah terlanjur menguasai. "Tapi aku tidak sebebas lautan," Jimin meremas ujung gaun yang ia kenakan. Jaket milik Jeongguk menjaganya tetap hangat namun kakinya tetap bertelanjang itu kedinginan.

"Apa kau akan merantaiku lagi?"

"Kau akan bersikap baik?" Anggukan kecil Jimin dirasakan pada bahunya meski tanpa melihat. Jelaga hitam memandangi hamparan luas air yang mengelilingi tempat kecil bersama aphrodite yang ia bawa dengan paksa.

"Ingin pulang?"

"Pulang?" mata lelah meniti cahaya sunset yang hampir tenggelam. Cakrawala di depan mata membayangkan jingga penuh makna dari satu hari yang dialami surya. Mengucap sampai jumpa yang Jimin amini esok tiba dengan keadaannya yang berbeda.

"Ke rumah kita, aku bisa mengantarmu ke pantai kapanpun kau menginginkannya,"

Biarkan rasa teriris dalam hati Jimin membesar dengan luka menganga. Itu yang menjadi maksudnya, pulang ke tempat dimana ia dikurung lebih dari setengah bulan. Pulang adalah tempat ia digauli berkali-kali hanya karena nafsu oleh seorang pemuda.

Arti pulang dan rumah Jeongguk sangat berbeda dari apa yang Jimin inginkan.

"Aku mau jalan-jalan, tidak mau kembali,"

"Dua puluh menit, tapi kau tidak boleh berjalan. Kakimu akan sakit," Dua lengan Jeongguk menelusup di antara lengan ke punggung dan ke paha belakang. Pemuda Jeon berdiri seraya menggendong Jimin dengan sangat mudah. "Kemana kau akan pergi, Cantik?"

Home Made | KookMin [Dalam Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang