Home Made : 20. Home

3.5K 306 264
                                    

//lebih panjang dari chapter lain. 🔞

.
.
.
...
.
.

Mencari tempat pulang, sesuatu yang orang lain sebut dengan rumah. Benda, tempat tinggal yang dihuni untuk berlindung dari dunia luar.

Rumah. Bagi Jimin yang kehilangan apartemennya setelah dua bulan pergi, kehilangan pekerjaan dan kehilangan hidupnya di masyarakat. Jika itu adalah hunian maka tidak ada lagi rumah baginya. Semuanya tidak ia miliki lagi.

Tubuh lemahnya berbaring di brangkar rumah sakit setelah tujuh jam tanpa pertolongan. Kekurangan darah, hampir hilang nyawa. Sendirian menanti ajal di pinggir pantai dengan udara dingin menerpa. Jimin tidak akan sanggup bertahan melewati malam.

Akan tetapi suara helikopter sayup terdengar, suara derap langkah dari beberapa orang dan tubuhnya melayang berpindah ke alas yang lebih lembut dari pada ribuan butir pasir pantai. Jimin tidak dapat membuka matanya, hanya merintih ketika lukanya disentuh entah oleh siapa. Ia kembali pingsan berpasrah pada nasibnya yang begitu buruk.

Karena sungguh, ia tidak menyangka jika disaat kelopak matanya terbuka seluruh penglihatan menjadi begitu terang. Bau obat, ketenangan, infus di punggung tangan. Orang mati tidak akan mendapatkan penanganan medis saat ia diadili oleh Tuhan bukan?

Jimin tidur miring ke kiri, ia ingin bergerak untuk terlentang namun tak bisa karena sesuatu menahannya. Lambat laun ia mengingat bagaimana rasa sakit di bahu kanan itu bisa terjadi.

Rintihan sakit keluar dari belah bibir tebalnya. Ia ingin bangun sesakit dan selemah apapun tubuhnya saat ini.

"Tetaplah berbaring,"

Suara berat itu membuatnya seketika berhenti bergerak. Tubuhnya kaku, dalam ingatan memutar kejadian dan waktu dimana ia pernah mendengar suara yang sama. Jimin meremas sprei kasur ketakutan. Pria pemilik suara datang p
bersama pria yang menyakiti Jimin hingga mengeluarkan banyak darah.

"Kau bisa mengenali ku itu artinya kau baik-baik saja," derit dari kaki kursi yang ditarik semakin menciutkan nyali Jimin. "Aku ingin memberikan penawaran padamu,"

Benar itu adalah pria yang sama, seseorang bernama Taehyung yang juga adalah kakak tiri Jeongguk. Jimin memaksa diri untuk duduk, meremat lutut berbalut celana putih panjang menutupi sampai mata kakinya.

"Aku dimana?"

"Rumah sakit Kim," Taehyung berucap seraya memperhatikan gelagat Jimin yang penuh kegugupan atau itu adalah ketakutan dan gelisah. Taehyung tidak terlalu peduli pada manusia yang tidak menarik perhatiannya. "Kau bertahan tujuh jam padahal sudah kehilangan banyak darah. Ucapkan terima kasih padaku,"

Jimin tampak linglung, dalam pikirannya berisi pertanyaan 'bukankah kau yang mencelakaiku?' namun tak ia utarakan. Matanya sejak tadi gusar, ia mencengkeram lututnya lebih keras.

Jeongguk tidak ada.

Jimin menyadarinya, ia menoleh ke kanan dan kiri. Memaksa tubuhnya untuk berdiri meski sudah dilarang Taehyung. Kakinya memijak lantai putih dan menyibak tirai sekat ruang tunggu untuk pasien kelas atas.

Jeongguk tidak ada.

"Apa yang kau cari? Tch! Luka bahumu terbuka lagi!" suara Taehyung yang meninggi tidak membuat Jimin berhenti. Tungkai kakinya bergerak lebih cepat memutari ruangan. Ia mencari, terus melakukannya ketika tak menemukannya.

Home Made | KookMin [Dalam Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang