3 | Pa, Aku Boleh Ikut, ya?

6.1K 812 212
                                    

"Rumah yang hangat itu kayak gimana, sih? Aku soalnya cuma tau meja makan yang dingin. Televisi di ruang tengah yang jarang banget nyala pas malam hari. Obrolan yang nggak seberapa. Chat yang nggak dibales. Sama ngajakin Papa cerita, tapi Papanya ngehindar."

Semalam, tidur El benar-benar tidak terasa nyaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semalam, tidur El benar-benar tidak terasa nyaman. Semenjak ia ketiduran di meja makan, dini harinya ia terbangun dengan punggung yang berat juga leher yang terasa pegal. Sedikit kebingungan karena bahkan di jam itu ia masih tetap sendirian dan Papa belum pulang. Sampai kemudian ia kembali memeriksa ponselnya dan menemukan satu pesan balasan dari Papa yang dikirim di jam sebelas malam, tepat setelah ia ketiduran.

Papa

Ada barang customer yang harus selesai besok siang, jadi Papa lembur sekalian nanti tidur di sini. Mungkin baru bisa pulang besok pagi.

Saat itu, El sampai tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Maka ia hanya menatap layar ponselnya untuk waktu yang lama. Membaca berulang-ulang kalimat yang Papa tuliskan dan melihat pukul berapa terakhir kali Papa online. Sampai kemudian ia tersadar bahwa Papa bahkan tidak menanyakan apakah ia membutuhkan sesuatu selama di rumah sendirian, atau sekadar menyuruh ia untuk tidur lebih dahulu tanpa harus menunggunya pulang.

Perasaan kecewa itu meremas dada El sampai ke dalam, terlebih ketika ia menatap lagi hidangan yang telah ia siapkan di meja makan. Yang telah sepenuhnya mendingin dan sebagain mungkin sudah berubah hambar. Agendanya untuk makan malam bersama Papa gagal total. Semuanya berantakan. Entah kali ini ia yang salah memilih waktu, atau memang dari awal ia sendiri yang menaruh harapan terlalu berlebihan.

Dengan hati yang lagi-lagi seperti baru dipatahkan, El kemudian memisahkan makanan yang masih bisa ia panaskan esok hari untuk sarapan dan menyingkirkan yang kemungkinan besar akan basi dalam beberapa jam. Setelahnya, cowok itu bergegas ke kamar, berusaha kembali memejam, tetapi ternyata gagal. Kantuknya telah sepenuhnya hilang ketika ia berpindah ke atas ranjang.

Pada akhirnya, cowok itu hanya membiarkan dirinya tetap terjaga di sisa malam yang masih cukup panjang. Berusaha mencari kesibukan dengan membaca komik di situs baca online, memainkan gitar akustiknya meski hanya sekadar memetik nada sembarangan, hingga kemudian seluruh kegiatannya berakhir di dua rakaat yang ia kerjakan menjelang habisnya sepertiga malam.

Lalu sembari menunggu fajar datang, cowok itu kembali berbaring di ranjang. Menghitung detik yang berjalan sambil diam-diam menerka seperti apa anak yang diinginkan oleh Papa. Yang akan dibanggakan oleh lelaki itu kepada teman-temannya dan disayang lebih dari semua orang yang ia miliki di dunia. Karena selama hampir 16 tahun El hidup bersama Papa, ia yakin bahwa bukan dirinya anak yang lelaki itu inginkan. Bukan ia putra yang lelaki itu harapkan menjadi bagian dari hidupnya.

Pikiran itu membawa El tenggelam hingga tanpa sadar azan subuh berkumandang. Cowok itu buru-buru bangkit untuk mengambil wudhu dan mengerjakan dua rakaat subuhnya. Kebetulan tempat untuk wudhu berada terpisah dari kamar. Letaknya berada persis di samping dapur, untuk itu El melangkah ke sana setelah sebelumnya menyalakan penerangan. Lima menit kemudian, ia kembali dengan wajah basah juga air yang menetes dari ujung-ujung rambutnya yang mulai memanjang. Akan tetapi, tepat lima langkah sebelum mencapai pintu kamar, suara langkah kaki seseorang membuat pergerakan El tertahan. Cowok itu menoleh ke arah pintu yang dibuka dari luar, memunculkan sosok Papa yang baru pulang.

Tidak Ada Aku di Hati PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang