Jakarta, satu tahun lalu.
Kopi di hadapan Jonathan sudah sepenuhnya tandas. Buku yang ia baca sudah menyentuh lembar paling akhir dan musik klasik yang ia putar di ponselnya juga sudah mencapai daftar paling bawah. Lelaki itu melepas kaca matanya untuk kemudian memejam, mencoba sejenak mengistirahatkan matanya yang lelah setelah membaca selama berjam-jam.
Jam di dinding ruang tengah rumahnya sudah hampir menyentuh pukul dua belas malam, ketika lelaki itu menumpuk kembali buku-bukunya menjadi satu dan meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Sampai kemudian, tepat saat jarum jam menunjuk angka 11 lebih 50, lelaki itu bangkit, menanggalkan selimut yang tadi dibawakan El dari kamar dengan alasan karena anak itu tidak ingin ia kedinginan. Sejak magrib tadi, Jakarta memang diguyur hujan, dan belum sepenuhnya reda sampai sekarang. Lelaki itu masih bisa mendengar samar-samar suara gerimis di antara langkah kakinya yang berderap pelan.
Sampai di depan kamar El, lelaki itu berhenti. Ia mendorong pintu dengan hati-hati, mengintip sekilas ke dalam ruangan yang lampunya sudah sepenuhnya padam sebelum kemudian membuka pintu lebih lebar. Dari tempatnya berdiri, lelaki itu bisa melihat El yang tertidur di ranjang meski hanya diterangi cahaya remang-remang dari lampu di luar, juga kilat-kilat kecil yang menyambar. Selimut yang anak itu kenakan separuhnya tanggal, padahal sejak sore tadi dia yang ribut menyuruhnya untuk memakai selimut agar tidak kedinginan.
Melihat tirai jendela yang masih separuh terbuka, lelaki itu mengambil langkah cepat ke sana, memastikan kaca jendela sudah benar-benar terkunci dengan rapat baru setelah itu ia menutup tirainya. Kemudian, lelaki itu berjalan mendekat ke ranjang, menarik selimut El hingga menutupi dada, sementara ia berjongkok di sisi ranjang dan terdiam untuk waktu yang cukup lama. Memandangi bagaimana dada anak itu bergerak naik-turun senada dengan tarikan napasnya, juga beberapa kali dahinya mengernyit, seperti tidak nyaman dalam tidurnya.
Jonathan tidak pernah tahu mimpi seperti apa yang El lihat di dalam sana, ia hanya tahu bahwa ini bukan kali pertama. Hampir setiap malam, ketika diam-diam ia menyelinap ke kamar anak itu untuk memastikannya sudah tidur atau belum, ia selalu mendapati hal yang sama. Sebab, jika bukan anak itu yang datang ke kamarnya, ialah yang akan diam-diam mendatanginya, meski hanya untuk sekadar melihatnya tidur lalu keluar lagi tanpa melakukan apa-apa.
Namun, kali ini lelaki itu menghabiskan waktu sedikit lebih lama untuk diam di sisi ranjang, sebelum kemudian ia mengulurkan tangan pelan-pelan, mengusap kepala El beberapa kali sampai kerutan tidak nyaman di dahi anak itu hilang. Lalu saat tidur anak itu menjadi terlihat jauh lebih tenang, tanpa sadar ujung-ujung bibir Jonathan juga ikut tertarik, membentuk senyuman.
Jam yang berdetak di meja samping ranjang sudah melewati angka dua belas saat itu, ketika dengan hati-hati Jonathan bergerak maju, merendahkan badannya untuk kemudian mengecup puncak kepala El dan membiarkan detik membekukan mereka di sana. Ia terdiam, membiarkan samar-samar suara gerimis di luar menghantar seluruh ingatannya ke belakang. Pada hari-hari berat yang ia lewati satu per satu dengan kepayahan, juga bagaimana selama ini ia berjuang cukup keras untuk membesarkan El sendirian. Belasan tahun berlalu, dan hari ini, tepat di penghujung Juli tahun ini, putra yang ia besarkan dengan seluruh cinta yang ia miliki itu telah menyentuh usia ke-lima belasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Ada Aku di Hati Papa
JugendliteraturElzaqta anak Papa. Dari lahir hidup sama Papa. Punya golongan darah yang sama seperti Papa. Punya garis wajah yang hampir menyerupai Papa. Tapi tidak pernah benar-benar menjadi anak Papa.