9 | Papa, Jawab Teleponnya.

5.6K 813 112
                                    

"Aku cuma mau tanya, kapan aku bisa jadi penting buat Papa?"

Jam pelajaran olahraga pagi itu habis dengan satu tiupan panjang peluit milik Pak Ilyas dari tepi lapangan bola

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam pelajaran olahraga pagi itu habis dengan satu tiupan panjang peluit milik Pak Ilyas dari tepi lapangan bola. Kemudian setelah lelaki itu melangkah meninggalkan lapangan, murid-murid yang semuanya bercucur keringat itu juga bubar. Satu per satu bergegas mencari tempat teduh untuk menepi dari terik matahari yang mulai terasa membakar.

Di antara anak-anak itu, El menjadi salah satu yang paling akhir meninggalkan barisan. Kemudian memilih untuk mengambil arah berlawanan ketika hampir semua temannya menuju kantin untuk berburu air mineral atau sekadar menghabiskan waktu istirahat untuk jajan. El tidak suka baju yang lengket oleh keringat, untuk itu ia selalu lebih memilih mengganti pakaian olahraganya dengan seragam terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan yang lain.

Namun, saat baru lima langkah jauhnya ia meninggalkan lapangan hijau tersebut, Laura datang dari arah berlawanan sembari tersenyum lebar. Tangan gadis itu terangkat ke udara, seolah sengaja memperlihatkan botol air mineral yang sepertinya baru ia dapat dari kantin, seperti biasa. Murid-murid perempuan memang tadi dipersilakan meninggalkan lapangan lima belas menit lebih dulu sementara murid-murid pria dibagi menjadi dua tim untuk saling berebut bola. Tetapi seolah telah menjadi kebiasaan, Laura yang sudah lebih dulu pergi pasti akan kembali lagi, dengan pakaian olahraga yang bahkan masih belum diganti.

"Gue selalu berdoa sama Tuhan supaya Laura dikasih uang jajan yang banyak tiap hari dan selalu dilindungi dari segala badai juga orang-orang yang berniat menyakiti," ucap El saat langkah keduanya akhirnya bertemu dan kemudian sejajar. Cowok itu menerima botol yang Laura berikan sembari tertawa ketika gadis itu mengepalkan tangan dan menjadikan lengannya sebagai sasaran.

"Gausah lebay! Gue nggak habis nyelametin lo dari kematian sampai lo harus sebaik itu sama gue, ya."

"Kok lebay, sih? Itu, kan, doa yang mulia. Aminin, dong, harusnya."

Kali ini Laura mendecak dan menatap El tajam. Tetapi kemudian gadis itu beralih, sembari membetulkan ikatan rambutnya yang berantakan. "Atas dasar apa lo doain gue kayak gitu?"

"Cuma lo doang temen yang rela pergi ke kantin duluan terus balik lagi bawain temennya minuman. Gratis lagi. Makasih, ya."

Kemudian El menenggak minumannya, membiarkan dingin air itu membasahi kerongkongannya yang kerontang. Di sisinya, Laura tertawa. Seolah mengiyakan bahwa memang hanya ia satu-satunya teman yang El punya dan tidak akan keberatan melakukan apa saja untuknya.

"Ya ... habisnya gimana, ya? Gue punya temen ansos parah, yang saking enggak sukanya ketemu sama orang-orang, haus pun rela dia tahan sampai pulang. Gue cuma takut lo dehidrasi aja, sih, El, jujur. Makanya, banyak-banyak bersyukur, deh, lo punya temen kayak gue."

Tidak ada bantahan. Untuk kalimat Laura yang satu itu, El hanya diam dan dalam hati membenarkan. Ia tidak tahu bagaimana awalnya mereka bisa menjadi sedekat sekarang. Cowok itu hanya tahu bahwa mereka punya banyak kesamaan, juga kesukaan. Satu-satunya perbedaan paling mencolok di antara mereka hanyalah El yang tidak senang berinteraksi dengan banyak orang, sementara Laura adalah seorang social butterfly.

Tidak Ada Aku di Hati PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang