Elzaqta anak Papa. Dari lahir hidup sama Papa. Punya golongan darah yang sama seperti Papa. Punya garis wajah yang hampir menyerupai Papa. Tapi tidak pernah benar-benar menjadi anak Papa.
"Dari dulu, aku cuma takut sama dua hal. Satu; ditinggalin Papa. Dua; ninggalin Papa. Tapi, kadang-kadang aku penasaran juga gimana Papa kalau aku nggak ada. Papa nyariin nggak, ya?"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dalam perjalanan hidupnya, Jonathan, pernah memberikan satu tempat paling istimewa di hatinya untuk seorang perempuan bernama Azzana Paramitha. Ia pertama kali mengenal Azzana di tahun pertama SMP, ketika secara kebetulan pihak sekolah mempertemukan mereka sebagai dua murid terpilih untuk mewakili sekolah di perhelatan kontes debat Bahasa Inggris se-Jakarta.
Azzana gadis yang menarik, pada saat itu. Dia pintar bicara, pintar juga mengambil hati lawan bicaranya. Tidak butuh waktu lama bagi keduanya untuk saling akrab hingga tahap di mana mereka saling bertukar nomor telepon rumah dan pergi jajan berdua di warung depan sekolah. Di tahun kedua, perasaan suka itu tumbuh begitu saja. Jonathan sepenuhnya sadar, usia keduanya masih terlalu kecil untuk menamakan debar-debar menyenangkan itu sebagai isyarat dari sebuah cinta. Namun, ia juga sadar bahwa perasaan cinta kepada seseorang dapat tumbuh kapan saja, di usia berapa saja, kepada siapa saja. Usia itu hanya angka, sementara cinta itu urusan hati.
Kehadiran Azzana ternyata berpengaruh cukup besar untuk Jonathan dan hidupnya. Mereka berbagi banyak sekali cerita, bertukar keluh kesah, tertawa, bahagia. Nama perempuan itu diam-diam Jonathan pahat di hatinya dan membekas dengan sempurna. Hingga di penghujung tahun ketiga, ketika ia yakin telah benar-benar mengunci nama Azzana di hatinya, perempuan itu datang dengan kabar yang paling tidak ia suka. Katanya, Azzana punya seseorang yang ia suka, dan tentu itu bukan dirinya.
Maka setelah pengakuan tersebut mencuat, hubungan keduanya pun berubah. Azzana lebih sering menghilang, juga absen untuk duduk bersamanya ketika jam makan siang. Kebiasaan-kebiasaan kecil bersama Azzana yang sebelumnya terasa menyenangkan pun perlahan terkikis, lalu tergantikan. Puncaknya, setelah hari kelulusan, mereka mengambil jalur yang berlawanan. Azzana pergi ke salah satu SMA terbaik di kota kelahirannya, Surabaya. Sementara Jonathan yang begitu mencintai informatika memutuskan untuk lanjut ke sekolah kejuruan. Mengambil jurusan Teknik Komputer dan Jaringan, karena memang itu yang dari awal ia inginkan.
Semenjak hari itu, ia tidak pernah lagi mendengar kabar tentang Azzana. Lebih tepatnya, ia yang sengaja memutus kontak dengan semua teman-teman lama dan memulai kehidupan barunya. Ia kira dengan begitu, nama Azzana juga akan hilang dari hatinya. Sama seperti bagaimana perempuan itu pergi begitu saja, ia pikir perasaan yang ia miliki untuknya pun akan sirna seiring bergeraknya waktu. Namun, ternyata ia keliru. Bahkan setelah ia mencoba menjalin hubungan dengan gadis-gadis yang ia kenal, perasaannya untuk Azzana masih tetap utuh.
Satu tahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, dan bahkan lebih lama dari itu, nama Azzana masih terpatri di tempat yang sama. Di hatinya. Tidak pernah sedikit pun bergerak dari sana. Hingga kemarin, ia bertemu kembali dengan teman-teman lamanya. Untuk pertama kali Jonathan muncul di hadapan mereka setelah sebelumnya selalu absen di tiap undangan reuni yang disebar melalu media sosial. Dan di pertemuan itu, seluruh ingatan tentang Azzana yang sebelumnya sudah ia coba kubur dalam-dalam pun seolah dibangkitkan.