"Aku nggak bohong, aku iri sama orang-orang yang bisa segampang itu dekat sama Papa. Yang bisa ngobrolin apa aja sesuka mereka. Yang bisa dengan terang-terangan ngungkapin perasaannya tanpa takut bikin Papa marah. Aku ... pengen bisa kayak gitu juga."
Tidak banyak yang berubah dari Azzana. Perempuan itu masih sama seperti dulu saat mereka pertama kali dipertemukan di ruang guru untuk sebuah acara lomba. Ia juga masih seramah dulu, saat mereka masih sering menghabiskan waktu istirahat di kantin sekolah dengan dua mangkuk soto ditambah es teh, atau saat mereka sering melangkah beriringan menuju halte bus untuk pulang bersama. Azzana juga masih cantik, sampai di menit-menit awal perjumpaan mereka tadi Jonathan sempat bertanya-tanya bagaimana bisa perempuan itu seolah tidak menua.
Satu-satunya perbedaan paling mencolok yang Jonathan sadari adalah cara bertuturnya yang beberapa kali terdengar kental akan logat Jawa. Kota Surabaya yang perempuan itu tinggali selama hampir dua dekade ini sepertinya telah mengakar sedemikian kuatnya. Namun, Azzana selalu terlihat pantas dengan apa saja. Termasuk saat perempuan itu beberapa kali bertutur dalam bahasa Jawa, entah bagaimana kata-kata yang seharusnya asing di telinga Jonathan itu justru terdengar begitu sempurna.
Tadi, setelah pertemuan tidak sengaja yang mereka lalui, juga setelah menyelesaikan diskusi terkait apa yang menjadi tujuan Azzana datang menemui Jonathan siang ini, perempuan itu lantas menawarkan sebuah ajakan untuk sekadar minum kopi. Maka setelah meninggalkan laptop miliknya kepada Mas Arbi untuk nanti diperbaiki, keduanya pun pergi. Lalu berakhir di sini. Di bagian paling sudut kafe yang menghadap langsung ke jendela kaca, dengan masing-masing isi gelas yang tinggal separuh tersisa.
"Anak kamu umur berapa?"
Setelah jeda yang lumayan panjang itu, Azzana akhirnya kembali membuka suara. Bersamaan dengan alunan lagu dari pemutar musik di kafe yang berakhir dan terganti dengan lagu lainnya.
"Enam belas, bulan depan."
Tangan Azzana yang tadi sudah hampir meraih gelas latte-nya pun seketika tertahan. Tatapan perempuan itu sekarang terkunci padanya. Ada lipatan-lipatan halus yang muncul di kening Azzana seiring ia menyipitkan mata. Dan sebenarnya Jonathan sudah bisa menduga alasan di balik tatapan Azzana yang seolah penuh tanya. Ketika pertama kali ia memberitahu teman-temannya tentang usia El, mereka juga bereaksi sama.
"Serius? Enam belas? Sekarang kelas 11, dong?"
Jonathan hanya memberi anggukan dan membiarkan Azzana mengambil jeda untuk menerka-nerka sesuatu di kepalanya. Mungkin perempuan itu sedang menghitung selisih usia anak-anak mereka karena tadi ia sempat mengatakan bahwa putrinya baru saja masuk sekolah dasar, atau mungkin sedang menerka di usia berapa Jonathan melepas masa lajang hingga anaknya sudah sebesar sekarang.
"Aku nikah muda, kalau itu yang lagi bikin kamu penasaran kenapa anakku udah sebesar itu," ucap Jonathan, mencoba menjawab seluruh tanda tanya yang mungkin sedang Azzana pikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Ada Aku di Hati Papa
Teen FictionElzaqta anak Papa. Dari lahir hidup sama Papa. Punya golongan darah yang sama seperti Papa. Punya garis wajah yang hampir menyerupai Papa. Tapi tidak pernah benar-benar menjadi anak Papa.