"Biasanya aku suka sendirian, sampai kadang-kadang mikir pengen habisin waktu satu hari di tempat yang nggak ada orang. Nggak ada Papa, nggak ada Laura, nggak ada siapa-siapa. Tapi, ternyata ... saat aku akhirnya ada di sana, aku nggak suka. Ternyata sendirian jauh lebih nakutin dari yang pernah aku bayangin."
Percakapan kemarin siang nyatanya memang berdampak cukup besar hingga mampu mengubah Laura menjadi begitu diam. Sejak datang ke kelas pagi tadi, gadis itu tidak mengatakan apa-apa. Tidak seperti hari-hari biasanya. El yang sudah lebih dulu duduk di bangkunya pun sama sekali tak disapa. Gadis itu hanya sempat menatapnya sebentar, setelahnya ia duduk dengan tenang dan tidak lagi menoleh ke belakang.
Maka di sepanjang jam pelajaran pagi itu, El sibuk menebak-nebak isi kepala Laura. Berusaha menerka apakah gadis itu marah karena selama ini El tidak pernah terbuka, atau justru kecewa karena statusnya. Dan jika alasan Laura adalah yang kedua, El tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, dari awal, ia sudah menduga hal seperti ini akan terjadi jika gadis itu mengetahui segalanya. Ia pernah memikirkan berbagai kemungkinan buruk di kepala dan perginya Laura adalah salah satu risiko yang pernah terbesit di sana. Tidak pernah ada tempat untuk anak seperti dirinya, maka seandainya karena hal tersebut Laura menjauh, El pernah bersumpah untuk tidak menyalahkan siapa-siapa.
Bagaimanapun juga, tidak semua orang dapat menerima dan ia tahu Laura mungkin menjadi salah satunya. Tidak apa-apa. Seumur hidup, cowok itu sudah terbiasa dengan penolakan. Kehilangan satu lagi orang yang ia percaya seharusnya tidak akan meninggalkan luka sebegitu besar. Para akhirnya, semua orang memang akan meninggalkannya sendirian. Pertama Mama. Lalu nenek dan kakeknya. Papa pun tidak pernah membuat ia merasa memiliki rumah sekalipun lelaki itu ada. Dan sekarang ... Laura.
Menghela napas panjang, cowok itu berusaha mengusir berisik dari dalam kepalanya sendiri. Ruang kelas sudah sepenuhnya sepi semenjak bel istirahat berbunyi dan terkadang El jauh lebih menyukai suasana seperti ini. Tenang, hanya ada ia dengan pikirannya sendiri.
Cowok itu kemudian merebahkan kepala di meja, menempelkan pipi kanannya ke permukaan buku pelajaran yang masih ia biarkan terbuka. Ponsel yang sedari tadi ia diamkan di laci pun kini ia raih dan ia nyalakan layarnya. Namun, setelah itu El tidak melakukan apa-apa. Pergerakan cowok itu terhenti hanya sampai di halaman paling depan ponselnya, menatap wallpaper hitam polos dengan tulisan berwarna putih yang sengaja ia taruh di sana agar tidak lupa. Tanggal ulang tahun Papa.
Dua hari lagi, dan ia belum mempersiapkan apa-apa.
Menghela napas panjang, cowok itu meletakkan kembali ponselnya dan membiarkan layar benda itu padam begitu saja. Sampai kemudian sesuatu yang dingin menyentuh pipinya secara tiba-tiba. Cowok itu tersentak dan refleks duduk dengan tegak. Di detik itu juga, satu botol minuman dingin mendarat ke mejanya, lalu saat ia mendongak, keberadaan Laura menjadi satu-satunya yang ia temukan di sana.
Gadis itu berdiri dengan meremas kedua tangannya, tatapannya tak terbaca. Untuk beberapa saat, El juga kehilangan kata. Laura yang menjadi diam sepanjang hari ini membuat cowok itu tidak tahu harus memulai dari mana. Sampai kemudian satu helaan napas panjang gadis itu terdengar dan setelahnya ia membuka suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidak Ada Aku di Hati Papa
Teen FictionElzaqta anak Papa. Dari lahir hidup sama Papa. Punya golongan darah yang sama seperti Papa. Punya garis wajah yang hampir menyerupai Papa. Tapi tidak pernah benar-benar menjadi anak Papa.