Author niat gak sih nulis cerita ini?
Dear readers, dari hati yang paling dalam, author mohon maaf jika mengabaikan story ini sebegitu lamanya. Sebenarnya cerita ini sudah ada draftnya sampai 30 bab. Namun author masih kurang yakin dengan respon readers. Alasan cupu itulah yang membuat story ini digantung hingga seperti kanebo kering.
Ok, berikut kanebo yang sudah dibasahi air hingga sudah bisa digunakan untuk mengelap abu rindu pada cerita ini.
Enjoy the story dear . . .
___________________________________________
Aku sangat merasa bersalah menemukan wajah mereka kusut sehabis selesai pengayaan. Seharusnya aku memberikan kisi-kisi setidaknya tiga hari sebelum pengayaan. Ditambah lagi materi yang aku ujikan bisa dibilang lebih sulit daripada pengayaan-pengayaan sebelumnya. Jadilah muka cemberut mereka diusahakan tersenyum masam ketika berpamitan pulang. Untung saja Rio menyunggingkan senyum yang bisa kulihat memang senyuman tulus. Setidaknya suasana hatiku bisa membaik
Aku harus menunggu di sini dahulu sampai keempat tuteeku yang lainnya pulang. Rio meminta ijin untuk ke kamarnya sebelum ia bercerita padaku.Untuk mengisi waktu menunggu kedatangan Rio, aku mengedarkan pandanganku ke sisi ruang tengah rumah Rio. Aku masih segan untuk pergi ke ruangan lainnya. Berbeda jika di rumah Clara. Aku sudah menganggap rumah Clara adalah rumahku sendiri dan orangtua Clara juga tidak keberatan kalau kami bermain di setiap sisi rumahnya. Bahkan pernah suatu kali Clara sakit dan kami akhirnya belajar di kamar Clara sembari menjaganya.
Ku pandangi ruangan ini yang menurutku sangat elegan. Aku bisa melihat lukisan yang sangat indah menggantung di dinding di atas meja hias. Dari jauh aku dapat melihat ada foto keluarga tetapi wajah mereka tidak jelas. Aku heran mengapa foto keluarga hanya dipajang pada pigura dan diletakkan di atas meja hias. Berbeda dengan foto keluargaku yang di pajang pada pigura 0,5x1m. Beruntungnya kak Rafa dapat mengambil foto itu meskipun dulu rumah sudah disita oleh orang yang membelinya dari mama.Penasaran seperti apa rupa orangtua dan kakak Rio, aku beranjak hendak melihat lebih jelas foto tersebut. Kupandangi lekat-lekat hingga aku merasa familiar dengan lelaki paruh baya yang aku duga berumur empat puluh akhir atau lima puluh awal itu. Sepertinya aku pernah melihatnya tapi entah di mana. Entah pernah atau tidak, aku bisa melihat mata lelaki itu mirip sekali dengan Rio. Aku hendak melihat apakah manik matanya juga sama dengan Rio. Namun kelihatannya kurang jelas. Jujur saja, aku takjub dengan manik mata Rio yang menurutku jarang bagi orang Indonesia. Manik matanya berwarna abu-abu. Jarang sekali aku melihatnya. Bahkan mata coklatku yang selalu kubanggakan kalah indahnya dengan manik mata abu-abunya.
“Tidak usah menatap foto itu lama-lama kak. Tetap saja aku yang paling tampan di antara ketiga lelaki yang ada di foto tersebut.” Suara Rio mengagetkanku. Ungtung saja aku dapat menjaga keseimbangan. Kalau aku kaget dan tidak bisa menjaga keseimbangan, bisa-bisa guci kecil yang ada di dekatku jatuh ketika beranjak mendengar suara tenor Rio.
“Kakak kaget loh.” Kucebikkan bibirku menunjukkan aku tidak suka dengan perlakuannya barusan. Dan apa tadi katanya? Dia yang paling tampan? Itu hanya karena dia yang paling muda di antara ketiga lelaki itu. Ya, memang ia kelihatan manis di foto tersebut. Tapi kan itu karena usia dia di foto itu mungkin masih menduduki usia SD. Aku bisa menebaknya.
“Kaget karena pria tampan yang ada di foto itu sekarang di depan kakak ya?” sumringahnya jahil membuat wajahku memerah.
Ya, aku merasakan wajahku memerah. Untung saja Rio langsung berbalik menuju sofa. Kalau ia sampai melihat wajah merahku ini, bisa jadi ia besar kepala.Kuatur nafasku sebelum berjalan menuju Rio yang kini sudah duduk dan membolak-balik koran di tangannya.
“Beritanya murahan.” Aku dapat mendengar desisannya.
“Tidak ada berita yang murahan. Kamu harus tahu bagaimana jurnalis sangat mempertaruhkan waktu dan tenaga mereka demi berburu berita.” Aku tidak suka ia menyepelekan pekerjaan jurnalis dengan mengatakan ‘berita murahan’.
“Bagaimana mereka mengorbankan waktu dan tenaga jika beritanya seperti ini? Apakah berita ini mendidik? Oh, untung aku tidak sebodoh remaja kebanyakan.” Ia berujar sembari mendekatkan koran tersebut ke hadapanku.
Aku dapat membaca judul berita tersebut dan memang kali ini aku setuju dengan Rio. Apa faedahnya menyuguhkan berita penggrebekan salah satu klub malam. Benar kata Rio. Bagaimana kalau remaja lain membaca ini?“Tapi setidaknya mereka memburu berita.” Aku tidak tahu ini pembelaan atau aku menyangkal diri sendiri.
“Bodoh amat lah. Untuk apa juga kita berdebat untuk hal itu kak.” Kata Rio.
Mungkin ia menyadari kebodohan kami bersama yang memperdebatkan hal-hal yang tidak menguntungkan diri kami sendiri.
“Ayo kak, kita ke taman belakang aja.” Rio menarikku dan untung saja tubrukanku pada tubuhnya membuatku tetap utuh berdiri. Untung tubuh kekarnya itu tidak jauh dariku saat kakiku menabrak sofa.
“Maaf kak.” Sepertinya Rio menyadari kalau aku hampir saja terjatuh.
“Makanya hati-hati dek. Emangnya mau apa sih? Buru-buru amat.” Aku memposisikan diriku senormal mungkin. Aduh, mengapa aku menjadi gelisah setelah tubrukan tadi ya?
“Iya deh tuan putri.” Rio merekahkan senyumnya. “Ya sudah ayo ke belakang.” Dia mempersilahkanku berjalan duluan.
“kakak tidak tahu jalannya.” Ya memang aku tidak tahu jalannya. Rio tersenyum dan menggandeng tanganku.
“Kok kakak kecil amat sih? Bahkan aku gak bisa menggandeng kakak.” Kan Rio mulai lagi mengajak berantam.
“Kamu ya.” Aku menghempaskan tangan Rio. “Ya sudah. Ngapain juga kamu gandeng kakak.” Aku kesal. Aku mengatur wajah masam dan mencebikkan bibirku.
“Maaf deh kak.” Rio merangkulku. Tangannya yang berat, sedikit menyusahkanku untuk bergerak. Aku sedikit memberontak tetapi Rio malah semakin mengetatkan rangkulannya.
“Ya udah ayo kak.” Ajaknya dengan tangan kirinya masih berada di pundakku.“Berat.” Aku mengeluh. Rio memberikan senyumannya. Entah itu senyuman apa aku tidak tahu.
“Maaf deh kak. Yok.” Ia menggandeng tanganku dan tiba-tiba menarikku. Belum siap dengan tarikannya yang tiba-tiba itu, kakiku terpelecok dan aku merasakan bahwa tubuhku hendak jatuh. Namun tangan Rio berhasil mengangkatku tapi aku merasa tungkai kakiku sakit.
“Aduh.” Aku mengaduh dan tidak tahan untuk berdiri. Rasanya aku ingin berjongkok karena semakin kupaksakan berdiri, kakiku semakin nyeri. Tanpa sadar tubuhku sepenuhnya sudah ditopang oleh Rio.
“Kenapa kak?” Rio tampak bingung.
“Sakit!” itu yang bisa kuserukan.
“Apanya yang sakit? Ayo ke sana dulu.” Rio menunjuk sofa yang tadi kami duduki.
“Gak bisa. Sakit.” Entah sejak kapan air mataku sudah terjatuh. Langsung saja Rio menggendongku dan meletakkanku di atas sofa. Ia mengangkat kedua kakiku ke atas meja. Pelan-pelan ia memegang kaki kananku. “Aw! Sakit!” aku setengah menjerit menahan sakit.
“Kaki kanan ini sakit kak?” aku hanya mengangguk. “Keseleo mungkin.” Kata Rio.
Ia segera menggeser meja mundur ke belakang dan menurunkan kaki kiriku. Sekarang kaki kananku ada di atas pangkuannya. Rio duduk di lantai depanku.
“Sebentar ya kak. Tahan. Aku tahu ini rasanya akan sakit tapi setelah itu kaki kakak sudah tidak sakit lagi. Maaf ya kak.” Ia meletakkan kakiku di lantai dan mendorong tungkainya.
“Aww!” entah seberapa keras teriakanku.
***
YOU ARE READING
Tutrice
Teen FictionNaik-turun roda kehidupan tidak bisa dikendalikan oleh siapapun. Butuh kerendahan hati jika roda kehidupan berada di atas. Sebaliknya jika roda kehidupan di bawah, dibutuhkan hati yang besar dan ikhlas. Tidak ada yang perlu disesalkan. Semua butuh w...