#10

4 0 0
                                    

"Enak ya kak." Rio berkomentar di sela-sela kunyahannya.

"Not so bad lah." Aku menanggapi.

"Loh, ini enak banget loh kak." Rio tidak setuju dengan tanggapanku.

"Lebih enak ketoprak di kantin kampus kakak dek. Pedasnya terasa banget." Aku menjelaskan.

"Uhukk" Rio terbatuk. Aku langsung memberi teh manis agar segera ia minum. "Kak, ini aja yang level satu udah pedas banget, itu level tiga kakak bilang kurang pedas?" Rio tampak heran. Aku hanya menangguk dan Rio masih memasang wajah innocentnya. "Ckckk ck memang ya kak." Rio menggeleng.

"Udah ah, nanti bicaranya. Habisin dulu makannya. Entar keselek lagi." Aku mengingatkan Rio yang langsung melanjutkan makannya.

Di persimpangan ini memang ramai setiap malamnya. Warung makan didirikan dengan tenda biru berjejeran menyediakan pilihan makanan yang bervariasi. Namun tentunya makanan di sini adalah makanan rumahan dengan harga terjangkau. Malam semakin larut, orang-orang semakin ramai mengambil posisi untuk memesan makanan. Tidak sedikit juga yang memesan dan membawa pulang makanannya entah untuk dimakan di rumah.

Aku dan Rio telah menghabiskan ketoprak masing-masing. Namun kami tidak memilih untuk langsung pulang. Kami menunggu sebentar supaya makanan yang masuk ke tubuh turun dulu. Aku ingin tahu sejauh mana persiapan Rio menuju universitas.

"Rene, lu di sini?" aku kenal suara yang berhasil membuat Rio berhenti menyampaikan persiapannya memasuki universitas. Alhasil, aku berbalik dan benar saja, suara yang kukenal itu memang dimiliki oleh Bimbo.

"Eh Bim, ngapain lu di sini?" aku malah balik bertanya.

"Yah mau makan lah." Jawabnya yang membuatku telak. Bimbo langsung mengambil posisi duduk di sampingku. "Eh, gue bisa duduk di sini kan?" Ia bertanya.

"Elu udah duduk dulu baru minta ijin." Celutukku yang dibalas senyuman oleh Bimbo. "lu sendiri aja?" aku bertanya. Tidak mungkin Bimbo keluar malam sendiri. Itu mustahil mengingat ia bukanlah pria tipe pemberani. Apalagi dengan hal-hal mistis, ia akan ketakutan jika telah membicarakan tentang keberadaan makhluk halus.

"Enggak, gue bareng kak Bobi." Ya, kak Bobi adalah sepupu Rio.

"Terus kakaknya di mana?" aku bertanya sembari mengedarkan pandanganku mencari keberadaan kak Bobi.

"Di sana, lagi mesan makan." Jawab Bimbo menunjuk pada gerobak sate.

"Oh," aku ber-oh ketika mataku telah berhasil menemukan kak Bobi.

"Ehem." Deheman Rio membuatku sadar kalau aku baru saja mengabaikan dia.

"Oh iya Bim, perkenalkan ini Rio salah satu tutee gue." Aku memperkenalkan Rio. "Dek, ini kak Bimbo, teman kelas kakak." Sekarang giliran Bimbo yang aku perkenalkan pada Bobi.

"Rio kak." Rio memperkenalkan dirinya.

"Bimbo." Bimbo juga memperkenalkan dirinya dan menyambut tangan Rio. Tidak beberapa lama kak Bobi datang mendekat ke meja kami.

"Rene di sini juga?" kak Bobi bertanya dan hanya kujawab dengan anggukan.

"Kak, perkenalkan ini Rio tutee aku. Rio, ini kak Bobi, kakak kelas kakak dan juga kakak satu organisasi di BEM." Mereka pun saling memperkenalkan diri masing-masing dan saling menjabat tangan. Kak Bobi mengambil posisi duduk di samping Rio.

"Kalian udah makan?" tanya kak Bobi sesaat setelah ia duduk.

"Udah kak. Ini, piringnya." Aku menunjuk piring kosong di hadapan kami. "Nunggu sebentar makanannya turun baru pulang." Aku menambahkan.

"Kalau begitu, kami makan ya Re." Sekarang Bimbo yang meminta ijin dan kujawab dengan anggukan.

"Bim, tumben lu keluar malam." Pernyataan yang baru aku utarakan lebih mirip kepada pertanyaan.

"Aku nemenin kak Bobi cetak poster ini." Rio menunjuk poster yang tergulung di dalam plastik yang ia letakkan di samping kursi. "Tadi kita nyari-nyari print poster pada tutup semua. Makanya kak Bobi nekat deh mencetak di cetakan BEM kampus." Sepertinya poster itu penting sekali sampai-sampai kak Bobi merelakan malam-malam untuk pergi mencetaknya.

"Emangnya itu poster apaan sih?" aku penasaran.

"Poster perlombaan Re." Jawab kak Bobi sembari menyesap jus jeruk di hadapannya.

"Boleh aku lihat kak?" aku penasaran.

"Oh boleh." Kak Rio menjawab. Aku langsung membuka poster itu.

"Lomba desain?" bisa aku rasakan dahiku mengernyit tiba-tiba pertanda aku heran.

"Iya Re. Ada juga itu lomba merancang rumah minimalis." Kak Rio menambahkan. Aku langsung menelusuri poster tersebut ternyata bukan hanya memuat satu lomba saja. Ada lomba desain interior, lomba merancang rumah minimalis, sampai lomba tata taman. Bahkan di poster yang ke-dua aku juga melihat ada lomba karya ilmiah mengenai lingkungan.

"Sayangnya kita anak matematika kak." Nadaku menyesal dan kembali menggulung ke-dua poster tersebut.

"Ya, emang gak bisa ikut?" Bimbo bertanya tetapi perhatiannya masih pada satenya.

"Impian kakak kan ingin jadi arsitek. Kalau gak bisa kuliah di jurusan teknik arsitektur, kenapa gak coba lombanya?" Pertanyaan Rio berhasil membuatku terbuai akan impian lama.

"Itu kan dulu." Aku menjawab.

"Eh, tapi benar juga loh. Kenapa elu gak coba aja? Kali aja lu menang. Ya, kalau gak menang juga gak apa-apa. Kan Cuma ngasah kemampuan lu." Bimbo sepertinya bersemangat. Kali ini ia mengusulkan idenya itu dengan menatapku dimbubui senyuman tipisnya.

"Emangnya ini dalam rangka apa sih?" aku penasaran juga akan lomba itu.

"Katanya sih karena kawasan itu kayak tanah persengketaan gitu. Kakak masih bingung sih. Katanya persengketaan karena ada salah satu perusahaan yang tidak membayar pajak gitu lalu menjual kepada pemerintah kota. Tapi gak tahu juga sih. Ada juga yang bilang sebenarnya itu punya seseorang tapi lahannya terkesan angker gitu makanya dijual ke pemerintah. Bingung juga sih. Ada banyak versi. Ya, akhirnya menimbulkan enigma gitu sih. Nah, pemerintah kota Bandung akhirnya ingin menjadikan tempat itu rumah susun yang akhirnya nanti bakal dihuni oleh masyarakat kurang mampu. Kayak di Jakarta lah. Lalu bakal ada tamannya juga. Karena memang lahannya luas. Nah, dengar-dengarnya sih, pemenang lomba inilah yang nantinya menjadi tim untuk pembangunan rumah susun beserta tamannya nanti." Kak Bobi menjelaskan panjang-lebar. "Rene memang suka arsitek ya?" pertanyaan kak Bobi lebih mirip menyelidik.

"Iya kak. Dulunya pengen masuk jurusan teknik arsitek tapi yah karena keterbatasan finansial, jadinya pilih Matematika." Aku menjelaskan singkat. Lagian, untuk apa kak Bobi tahu tentang kehidupanku. Lebih baik ia hanya tahu intinya saja.

"Gak masalah sih kalau Rene nyoba. Tapi kayaknya itu pertim deh. Nanti kakak coba deh cari siapa yang mau masuk tim kamu." Kak Bobi sepertinya yakin kalau aku bakal mengikuti lomba itu padahal aku sendiri saja masih belum yakin aku bakal coba atau tidak.

"Satu tim itu semuanya harus mahasiswa ya kak?" entah dari mana pertanyaan itu datang. Aku spontan saja menanyakannya.

"Tulisnya sih umum. Yah, mungkin bisa aja sih gak hanya mahasiswa." Kak Bobi menjawab.

"Hm, sepertinya kakak tinggal mencari satu orang aja deh." Aku meneruskan.

"Kamu sudah punya tim sendiri?" kak Bobi bertanya lagi kini dengan nada semangat.

"Ada satu orang kak. Tinggal satu orang lagi yang bakal kakak cari." Aku menjawab dengan memberikan senyuman tulus. "Oh iya, kami berdua duluan ya kak, sudah malam, kasihan tutee aku nanti kemalaman sampai rumah." Aku langsung berdiri dan diikuti oleh Rio. "Duluan ya kak, Bim." Aku pamit.

"Mari kak." Sekarang Rio yang berpamitan. Kami pun pergi meninggalkan warung.

TutriceWhere stories live. Discover now