#18

1 0 0
                                    

Halo readers,

Maafkan author.

Cerita yang mati suri ini akhirnya kembali bangun.

Semoga dia bisa sehat dan tidak sakit-sakitan lagi.

.

Enjoy . . . . .


________________________________________________________________________________

Entah apa yang akan kulakukan setelah melihat apa yang di depan mataku. Tadinya aku berharap dapat berbicara langsung dengan calon mertua sebelum putrinya mengetahui keberadaan mamanya. Aku ingin memberi kejutan kepada kak Rene. Namun malah aku sendiri yang terkejut. 


Bagaimana aku tidak terkejut dengan apa yang telah aku lihat. Jelas-jelas di depan mataku papa keluar dari rumah yang alamatnya diberikan oleh kak Rene. Aku ingin memastikan apakah benar itu papa. Ketika hendak melangkah menemui papa yang baru keluar dari rumah, aku melihat plat mobil yang terparkir tidak jauh dari gerbang bertuliskan "D 2206 ROS." Itu benar plat mobil papa. 

Ingin sekali memasuki rumah yang lumayan megah ini dan menghajar papa sepuasku. Kalau saja mama kak Rene tidak muncul, mungkin aku sudah kalap dan menjadi anak yang durhaka. 

Semua rasa menyatu di dalam emosi yang tidak dapat aku lampiaskan. Marahku bercampur dengan banyak alasan. Tidak percaya dengan papa ternyata selingkuh juga, ibu dari orang yang aku sayangi memiliki hubungan dengan papa, dan entah apa yang akan aku katakan pada kak Rene. Semua bercampur menjadi rasa yang hendak keluar. 

Mataku tidak mungkin membohongi logika. Tidak mungkin papa tidak memiliki hubungan dengan mama kak Rene sementara mereka cium pipi dan mama kak Rene bergelayut manja di pelukan papa. Haruskah aku membenci papa atas kejadian ini? Mengapa papa yang aku kira setia ternyata selingkuh juga? Atau apakah yang seharusnya aku marahin itu adalah mama kak Rene karena telah merebut papa? Semua menyatu menjadi rasa benci yang mendalam. 

Apapun alasannya, papalah yang paling bersalah di sini. Papa yang notabene sebagai pemimpin seharusnya bisa menjaga diri keharmonisan dan rumah-tangganya. 

Daripada emosi yang memuncak ini aku lampiaskan, lebih baik sekarang aku pulang. Memanah adalah pilihan yang tepat untuk menyalurkan kemarahanku. Laki-laki yang sekarang aku tidak tahu harus memanggilnya apa itu, malam ini pasti tidak pulang karena ia mengatakan ada tugas selama dua minggu ke luar kota. 

Oh iya, aku baru mengerti ternyata 'tugas ke luar kota' hanyalah dalih papa untuk bertemu kekasihnya yang kami tidak tahu. Lebih baik aku menenangkan diriku dulu.

*** Aku tidak tahu harus berkata apa pada kak Rene. Malam ini pasti kak Rene akan meminta kami menulis refleksi atas hasil pengayaan yang telah kami terima. Bagaimana aku dapat berkonsentrasi sementara kondisi hati dan pikiranku sedang tidak baik. Lebih baik aku tidur di rumah saja. Tidak usah pergi bimbingan belajar."Nak Rio, nak Rio tidak les?" bu Sumi mengetuk pintu kamarku. Aduh sial, tadi aku lupa mengunci pintu. "Loh kok tidur? Kan malam ini nak Rio harus les." Itu kan benar. Bu Sumi masuk ke kamar. Alasan apa yang akan aku berikan kepada bu Sumi?


"Rio lagi gak enak badan bu." Ku usahakan wajahku memelas agar bu Sumi mengerti. Bu Sumi mendekat dan menaruh telapak tangannya di keningku.

"Enggak kok gak demam. Kok bisa enggak enak badan nak? Perasaan seharian nak Rio di rumah saja." Itu kan benar. Bu Sumi ini tidak bisa dibohongi.


"Rio malas bu pergi bimbingan." Akhirnya aku jujur. Tidak enak juga membohongi bu Sumi yang sangat menyayangi aku seperti anaknya sendiri.


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TutriceWhere stories live. Discover now