Sudah lebih dari tiga jam aku di ruangan ini berkutat dengan laptop. Rasanya lebih sulit merevisi modul dari pada membuat yang baru. Banyak coretan dari kak Kiko yang membuatku harus segera merevisinya. Tampaknya ini tidak akan segera selesai sore ini. Jam sudah menunjukkan pukul 18.10. Itu berarti aku harus segera pergi ke rumah Clara. Peduli amat dengan perutku yang kosong. Pokoknya aku tidak boleh terlambat. Segera aku memberesi laptop beserta kabel yang berserakan di meja. Langsung saja kugulung kabel tersebut dan kumasukkan ke dalam ransel. Tidak lupa aku mengunci ruangan ini karena memang akulah orang terakhir yang berada di sini.
Butuh waktu sepuluh menit untuk aku mengambil sepeda dari parkiran. Tanpa berlama-lama, aku mengkayuh sepeda hingga lolos dari pintu gerbang kampus. Namun beberapa meter dari lingkungan kampus, aku melihat Rio yang sedang bersandar pada mobil yang terparkir di pinggir jalan. Akupun menghentikan laju sepeda hendak menanyakan mengapa Rio berada di sini.
"Rio kenapa masih di sini?" Tanyaku tanpa turun dari sepeda.
"Tadi aku telepon Clara katanya kakak belum datang. Padahal biasanya kakak selalu datang lebih awal. Kebetulan tadi aku lewat sini makanya aku bermaksud menunggu kakak di sini. Aku takut masuk kampus kakak." Ia menjelaskan panjang lebar.
"Untuk apa kamu menunggu kakak? Kenapa gak segera ke rumah Clara aja?" Aku bingung.
"Ya ampun kakak. Udah kakak turun dulu." Rio langsung menahan sepedaku dan mau tidak mau aku harus segera turun dari sepeda. Sesaat setelah aku turun, Rio memasukkan sepeda ke mobil bagian belakang. Tidak beberapa lama ia mendatangi tempatku berdiri.
"Ayo kak cepat. Kita udah telat!" Serunya padaku yang masih bengong. "Ayo kak." Rio menuntun langkahku dengan mendorong lembut tubuhku dari belakang karena aku masih saja diam di tempat. Ia segera membuka pintu dan aku masuk masih dengan kebingungan. Rio segera berlari dan duduk di kursi kemudi.
"Kakak kok bengong sih?" Pertanyaan itu lolos dari mulutnya. Sebelum aku segera menjawab, Rio memasang seat beltnya. Melihat aku yang masih saja bengong, ia mencoba memasang seat beltku. Menyadari hal itu, aku segera meraih seat belt yang ada di sampingku dan memasangkannya. Rio menyalakan mobil dan segera menyetir. "Jangan kebanyakan berpikir kak. Kakak harus bisa menguasai pikiran kakak. Jangan pikiran kakak yang menguasai kakak. Pantas saja kakak mungil kayak gini. Selalu saja berpikir." Kurasa apa yang dikatakan Rio bukan hanya sekadar gurauan. Memang benar aku selalu berpikir melihat situasi yang terjadi. Tidak pernah aku langsung bertindak tetapi aku berpikir terlebih dahulu hingga mungkin karena itu juga tubuhku mungil seperti yang Rio katakan barusan.
"Mau ke mana kita?" Pertanyaan bodoh ini keluar dari mulutku.
"Ya mau ke rumah Clara dong kak." Aku pun baru menyadari pertanyaan konyol itu.
"Hm, maksud kakak, kakak kan bisa pergi sendiri." Aku mencoba meralat inti pembicaraanku.
"Udah, kakak sekarang duduk diam saja. Aku tahu kakak pasti capek banget ya seharian di kampus. Dari pada sampai di rumah Clara kakak kecapekan, lebih baik lah kakak berangkat denganku." Rio menyunggingkan senyumnya. Aku hanya diam dan menatap lurus ke depan. "Nanti pulang les kakak aku antar ya." Sepertinya itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan. Mana mungkin aku menolak tawaran itu karena tentu saja Rio akan bersikeras mengingat kejadian tadi malam. Aku hanya menangangguk tanpa menoleh padanya.
***
Oleh karena keterlambatanku, aku memutuskan untuk memperpanjang waktu belajar. Waktu belajar yang seharusnya berakhir tepat jam 21.00, aku perpanjang menjadi 21.30. Aku senang walaupun demikian, para tutee tetap bersemangat belajar. Apalagi mereka tidak mengeluh dengan kisi-kisi yang aku berikan tadi.
"Kak, sepeda kakak masih di mobil. Kalau kakak gak mau pulang bareng, kakak jalan kaki dong." Oke, candaan Rio kali ini tidak lucu.
"Ya sudah mau pulang jam berapa?" Aku bertanya dengan nada menantang sambil melihat jam tangan. Aku harap Rio mengerti maksudku dan segera pulang.
"Ya sudah kita pulang sekarang aja." Akhirnya aku menang. "Guys, gue duluan ya!" Rio berpamitan dengan keempat temannya. Memang rumah Clara sudah seperti rumah kami sendiri. Bahkan tutee-tuteeku betah di rumah ini hingga larut malam. Aku heran, bukankah mereka masih SMA? Mengapa orang tua mereka masih mengijinkan mereka di luar rumah hingga bisa sampai jam sebelas malam? Tapi ya sudah lah. Toh mereka juga bukan seperti anak ABG pada umumnya yang mengikuti pergaulan bebas.
"Kakak pulang duluan ya dek." Aku juga berpamitan kepada mereka. Langsung saja mereka menyalim tanganku. Awalnya diperlakukan seperti ini, aku canggung karena merasa ketuaan. Namun akhirnya aku biasa saja. Malahan setiap pamitan sepertii ini aku merasakan bahwa aku benar-benar dihargai sekaligus disayangi oleh mereka.
"Kita pulang bareng kali kak." Rio selalu saja mengoreksi perkataanku. Anak ini selalu saja membuatku canggung di depan teman-temannya. Benar saja, keempat temannya senyum-senyum menahan ketawa. Aku menyunggingkan senyuman tipis dan segera pergi menuju mobil. Dapat aku dengar langkah Rio yang mengejarku.
Sesampainya di mobil aku langsung memasang seat belt dan mengeluarkan diaryku. Entah apa yang membuatku sehingga berani membiarkan diaryku terlihat oleh orang lain. Biasanya aku malu jika orang lain tahu kalau aku masih saja menulis di diary.
"Selain jadi arsitek, apa keinginan kakak yang belum terwujud?" Pertanyaan Rio menghentikan kesibukanku mengamati foto persebaran pulau Indonesia yang terdapat keterangan tempat-tempat wisata Nusantara.
"Aku mau menjelajah." Jawabku singkat dan kembali mataku tertuju pada foto itu.
"Berkeliling nusantara?" Pertanyaannya ialah jawabannya sendiri. Aku menanggukkan kepalaku.
"Aku juga punya keinginan yang belum terwujud." Sesudah mengatakan itu, Rio menyalakan mesin mobil dan segera mengemudi. Aku masih saja memperhatikan foto yang diberikan papa itu. Aku ingat betul janji papa waktu itu 'Rene sayang, kelak kalau papa punya cuti panjang, papa akan bawa Rene, kak Rafa, Shela dan mama keliling nusantara. Sebenarnya keindahan Indonesia kita ini mengalahkan keindahan semua negara lain.' Dengan optimisnya papa mengatakan hal itu. Sebelum papa mewujudkan impiannya yang akhirnya menjadi keinginanku itu, papa meninggalkan kami selamanya. Aku lah yang paling terpukul karena aku dekat sekali dengan papa. Sebelum air mataku lolos, aku menoleh pada Rio dan memulai pembicaraan.
"Emangnya apa keinginan Rio yang belum terwujud?" Aku menanyakan pertanyaan yang topik itu tadinya telah terputus oleh keheningan.
"Aku ingat sumpah Palapa yang selalu dikatakan oleh guru Sejarahku sewaktu SMP 'aku tidak mau memakan buah Pala sebelum Nusantara bersatu." Ia memberikan jeda. "Alasan aku ingin menjadi arsitek, aku ingin mendesain rumah yang layak untuk suku-suku pedalaman Indonesia. Ingin sekali rasanya melihat pemerataan pembangunan di Indonesia. Aku ingin membangun sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi di pelosok Indonesia." Rio menjelaskan tanpa menoleh kepadaku. Entah ia fokus menyetir atau ia terbuai dengan khayalannya.
"Kakak harap kamu bisa mewujudkannya dek." Itu yang menjadi doaku. Bagaimana pun juga, aku mengaminkan setiap cita-cita tuteeku.
"Aku harap kakak juga bisa mewujudkan keinginan kakak." Setelah mengatakan itu, aku kembali mengarahkan fokus pada foto yang tertempel di diary. Aku melihat angka 1 pada pulau Bangka. Saat itu aku ingin sekali mengunjungi Bangka terlebih dahulu sebelum mengunjungi pulau lainnya. Jadilah kami dikunci oleh keheningan. Ada perasaan canggung untuk memulai pembicaraan sehingga aku memilih untuk mengamat-amati foto-foto yang aku tempelkan di diary. Oh, indahnya masa itu, sebelum papa pergi selamanya.
________________________________________________________________________________
YOU ARE READING
Tutrice
Teen FictionNaik-turun roda kehidupan tidak bisa dikendalikan oleh siapapun. Butuh kerendahan hati jika roda kehidupan berada di atas. Sebaliknya jika roda kehidupan di bawah, dibutuhkan hati yang besar dan ikhlas. Tidak ada yang perlu disesalkan. Semua butuh w...