"Kenapa Rio bisa tahu kalau kakak di sini?" Akhirnya aku memecah keheningan.
"Tadi aku ngikutin kakak." Rio mulai melepaskan dekapannya. Ia mengambil jarak dan memegang kedua bahuku. "Aku gak yakin kakak bakal baik-baik aja. Makanya tadi aku ngikutin kakak. Kalau aku bilang mau ngikutin kakak, pasti kakak bakal larang aku. Jadi aku ngikutin diam-diam saja. Tapi tadi aku sempat kehilangan jejak kakak. Terus waktu aku dengar teriakan kakak, aku langsung nyari eh ternyata benar dugaanku. Kakak dipalakin sama preman sialan ini." Rio mengalihkan pandangannya kepada preman yang masih tersungkur. Ya ampun, aku baru ingat preman itu masih belum sadar juga. Jangan jangan . . .
"Rio, dia akan baik-baik saja kan?" Aku bertanya tepatnya ingin meyakinkan diriku. Jujur saja aku takut kalau preman itu sampai kenapa-kenapa. Apalagi kalau ia sampai mati. "Dia gak akan mati kan?" Apa jadinya kalau aku mendekam di penjara karena kasus pembunuhan. Bisa-bisa kak Rafa shock.
"Ya ampun kakakku. Pukulan gitu doang mah gak akan buat dia mati." Rio menyunggingkan senyumnya. "Kita tunggu saja, paling bentar lagi dia juga sadar." Oh ternyata preman itu hanya pingsan. Untung saja. Aku menganggukkan kepalaku tanda mengerti. Tidak beberapa lama kami menunggu, preman itu terbangun. Ia tampak terkejut dan buru-buru bangkit, hendak melarikan diri.
"Tunggu!" Rio langsung saja mengejar preman tersebut dan menarik tangannya. Hanya saja preman tersebut tidak melakukan perlawanan.
"Maaf mas!" Aku dapat mendengar seruan dari si preman.
"Kenapa kamu berani mencopet? Kamu gak tahu siapa yang kamu copet ini? Dia pacarku!" Aku kaget mendengar pernyataan Rio.
"Maaf mas!" Kembali si preman meminta maaf.
"Kamu tidak lihat yang kamu sakiti itu perempuan? Kamu punya istri juga kan?" Rio bertanya dan dijawab dengan anggukan oleh si preman. "Bagaimana kalau istri kamu disakiti orang lain? Atau bagaimana kalau mama kamu dicegat di tengah jalan?" Aku bingung sebenarnya apa yang diinginkan Rio dengan mempertanyakan itu pada preman tersebut. Mengapa Rio tidak membiarkan si preman itu pergi saja?"
"Maaf mas justru saya melakukan ini untuk ibu saya. Sudah dua tahun ibu saya sakit. Minggu lalu saya dipecat dari kantor karena selalu ijin untuk nemenin ibu berobat. Karena saya di PHK, istri saya pergi dan membawa kedua anak kami." Entah pernyataan si preman jujur atau tidak, yang jelas pernyataan itu berhasil menumbuhkan rasa ibaku padanya. Aku melangkah menuju Rio dan si preman.
"Sudah dek lepaskan saja." Aku meminta tolong kepada Rio.
"Maaf mas, saya mohon lepaskan saya. Ibu pasti sudah menunggu." Si preman memohon. Sepertinya apa yang baru saja dikatakan si preman benar. Aku dapat merasakan bagaimana kehilangan orang yang sangat kukasihi. Aku tidak ingin lelaki ini juga kehilangan orang yang disayanginya. Dia sudah kehilangan kedua anaknya oleh karena istrinya. Jangan sampai ia juga kehilangan ibunya.
"Pak aku mohon jangan lakukan ini lagi. Ibu anda juga pasti sedih kalau beliau tahu anda melakukan pekerjaan seperti ini dengan dalih untuk kebaikan beliau." Akhirnya aku melontarkan yang menandakan aku telah memaafkannya. "Pergilah pak!" Aku menepuk singkat bahu lelaki itu sebagai tanda aku tulus memaafkannya.
"Terima-kasih neng." Si bapak berseri menanggapi perkataanku. "Mas," katanya dengan kepala tertunduk kepada Rio.
"Dek," aku memberikan isyarat dengan mataku agar Rio mau melepaskan tangan lelaki tersebut. "Kakak percaya apa yang bapak ini katakan." Akhirnya tanpa berkata apa-apa Rio melepaskan cengkramannya pada si bapak. "Pergilah pak!" Aku memberikan sorotan mata yang meyakinkan padanya. Akhirnya si bapak pergi.
"Tunggu!" Ketika si bapak sudah mulai menjauh, Rio memanggilnya. Rio langsung menghampiri si bapak dan aku ikut menyusul. Aku takut Rio melakukan sesuatu lagi terhadap beliau. "Kamu bilang kamu baru saja dipecat?" Si bapak hanya mengangguk. "Dari perusahaan apa?" Rio melontarkan pertanyaan masih dengan nada datar. Jujur saja aku tidak tahu jalan pikiran Rio.
"Da . . da . . ri perusahaan swas . . ta mas." Si bapak menjawab dengan gemetaran. Tampaknya bapak masih takut dengan Rio.
"Bidang apa?" Masih saja Rio bertanya. Aku bingung mengapa ia ingin tahu seluk-beluk si bapak.
"Jaringan mas." Si bapak menjawab singkat.
"Komputer?" Si bapak menganggukkan kepalanya. "Bisa Microsoft Office?" Si bapak menangangguk lagi. "Bisa digital desain?" Lagi-lagi Rio memberikan pertanyaan yang hanya dijawab anggukan oleh si bapak. "Sebenarnya saya tidak percaya sepenuhnya dengan anda. Tapi karena pacar saya sepertinya mempercayai anda, mungkin pacar saya ini benar. Kalau gitu besok anda bisa datang ke sekolah Pangudi Luhur. Saya tidak bisa menjanjikan anda akan diterima. Tetapi sepertinya sekolah saya membutuhkan tenaga pengajar TIK karena pengajar TIK di sekolah hanya ada dua. Apalagi saya dengar-dengar pengajar TIK SMP akan menikah. Otomatis ibu itu akan mengikut suaminya ke Sumatera. Coba anda lamar ke sana. Tapi ingat yang dibilang pacar saya. Jangan pernah mencopet orang lain." Aku tidak menyangka Rio mengatakan ini. Sungguh Rio memang tegas tetapi hatinya selalu ingin menolong.
"Terima kasih mas." Si Bapak menyalim tangan Rio. "Terima-kasih neng." Kali ini ia menunduk menunjukkan terima-kasihnya padaku. "Saya pamit ya mas, neng." Pamit si Bapak.
"Bentar dulu." Lagi-lagi Rio menginterupsi langkah si bapak. Aku bingung kali ini apa lagi yang akan dikatakan Rio. "Ini ada sedikit uang untuk bapak dan ibu bapak." Rio memberikan beberapa lembar uang kepada si bapak. "Tolong tetap jaga kehormatan anda dengan tidak melakukan pekerjaan yang haram." Rio mengingatkan bapak yang kini sedang tertunduk. "Terimalah saya ikhlas." Karena si bapak diam saja, Rio menaruh uang tersebut ke dalam kantong kemeja si bapak.
"Maaf mas atas perlakuan saya tadi. Saya sangat menyesal. Terima-kasih mas. Saya janji tidak akan melakukan pekerjaan seperti ini lagi. Semoga Allah membalas kebaikan mas dan neng." Kata si bapak masih dengan tertunduk.
"Pulanglah pak, ibu anda pasti sedang menunggu anda." Akhirnya aku berani bersuara.
"Sekali lagi terima-kasih neng, mas." Akhirnya si bapak benar-benar pergi dan Rio juga kembali ke sepedaku. Melihat Rio menggiring sepedaku hendak berbalik ke arah kampus, aku berlari kecil hendak mengejarnya.
"Sepedaku mau dibawa ke mana?" aku bertanya setelah aku dapat mengimbangi langkah adik tutee pemberaniku ini.
"Mau dibawa pulang." Jawab Rio datar.
"Ke kampus?" Yang benar saja sepedaku dibawa kembali ke kampus.
"Ke kost kakak. Pokoknya kakak harus pulang bareng aku." Aku hendak menolak tawaran Rio. "Tidak ada tolakan." Rio langsung memberi ultimatum sebelum aku menolak ajakannya. Setelah melewati persimpangan yang tidak jauh dari lokasi tadi, Rio belok kanan dan di sana mobilnya terpakir. Dia langsung memasukkan sepeda ke belakang mobilnya. "Silahkan masuk kak." Rio meminta sopan. Lebih baik aku langsung masuk sebelum Rio memberikan ultimatum lain.
***
Teman-teman sudah baca cerita baru gw belum?
Judulnya Grandma's Diary.
Teman-teman boleh meluncur ke profile gw ya.
Thank you :)
YOU ARE READING
Tutrice
Fiksi RemajaNaik-turun roda kehidupan tidak bisa dikendalikan oleh siapapun. Butuh kerendahan hati jika roda kehidupan berada di atas. Sebaliknya jika roda kehidupan di bawah, dibutuhkan hati yang besar dan ikhlas. Tidak ada yang perlu disesalkan. Semua butuh w...