Kulirik jam tangan sudah menunjukkan pukul 23.15. Langsung saja aku menyetir untuk pulang.
Drtt drtt ada pesan WA yang masuk. Itu adalah alamat yang dimaksud kak Rene. Sepertinya aku tahu daerah itu. Besok pagi aku cek dulu saja sebelum pergi bersama kak Rene.
Suasana rumah sepi. Seperti biasa, pasti kakak clubbing sementara mama sama pacar-pacarnya itu. Masih beruntung malam ini mama tidak membawanya pacar-pacarnya itu ke rumah. Entah sudah berapa lelaki mama bawa ke rumah setiap kali papa tugas ke luar kota.
Langsung saja aku menuju dapur dan tadi sempat kulihat lampu kamar bu Sumi sudah padam. Itu tandanya bu Sumi sudah tidur. Seperti biasa aku akan mengambil buah kurma untuk ku santap sebelum mandi. Satu pesan yang selalu kuingat dari mama 'kurma itu baik untuk kesehatan hati.' Jadilah perkataan itu yang selalu menghipnotisku untuk memakan buah kurma. Bahkan aku sering sekali menjadikannya camilan. Lebih baik aku segera tidur supaya besok bisa pergi mencari alamat.
*** Mungkin kalau bukan karena panggilan dari kak Rene, aku tidak akan bangun. Rasanya kantuk ini menjadi magnet yang menarikku bersama kasur. Jadilah sekarang aku sudah di halaman kost kak Rene.
"Maaf ya sudah mengganggu akhir pekanmu." Kak Rene memberikan senyuman sembari menyodorkan teh ke hadapanku.
"Tidak apa-apa kak dari pada gabut juga di rumah." Aku membalas senyuman kak Rene.
"Oh iya, ini ada kertas lalu ini ada foto bentukannya." Aku baru sadar ternyata tadi kak Rene membawa kresek yang berisi kertas, gunting dan lembaran yang aku tidak tahu pola apa tapi lebih mirip gambar.
"Ini apaan kak?" aku bertanya menunjuk kertas bergambar yang tidak kukenali itu.
"Jadi gini, kakak minta tolong kamu amati gambar ini. Lihat kan bentuknya?" aku mengangguk.
"Nah coba lihat garis yang tebal ini." Aku memperhatikan garis tebal yang dimaksud kak Rene.
"Ikutin. Coba tebak ini berbentuk apa?" aku berusaha mencari tahu itu berbentu apa.
"Oh, aku tahu!" Ya, aku langsung menebak itu apa. "Itu ruangan yang setiap sisinya dilapisi cermin ya kak?" kak Rene menangguk. "Nah, di tengah-tengahnya ada lilin itu. Kayaknya ruangannya berbentuk segi enam. Enggak. Hm, segi lima ya kak?"
"Tepat sekali." Kak Rene langsung menepuk bahuku. "Seperti yang kakak duga kamu pasti tahu." Bisa dong aku berbangga mendengar pujian itu. "Ini, kakak mau tahu, kamu bisa menebak ini gambar apa?" kak Rene langsung memberiku gambar yang lainnya.
"Bisa lah. Itu mah atap rumah." Mana mungkin aku tidak dapat menebak gambar itu. Jelas-jelas itu atap rumah. Kak Rene ada-ada saja.
"Kalau yang ini?" kak Rene menunjuk gambar yang lain.
"Itu rumah loh kak. Entah itu tampak samping atau tampak belakang." Ku lihat kak Rene senyum tanda dia menang. Kan aku yang bisa jawab, kok malah kak Rene yang merekahkan senyum tanda kemenangan itu? "Emangnya ada apa sih kak nanya-nanya kayak gitu?" aku mencebikkan bibirku.
"Kakak boleh minta tolong coba gambarkan ketiga gambar ini di dalam satu gambar." Kak Rene langsung menyodorkan kertas putih polos itu ke hadapanku.
"Maksudnya kak?" aku tidak mengerti.
"Begini, ini sebenarnya satu gambar yang difoto dari berbagai sudut." Hm, iya juga. Aku langsung mengangguk. "Nah, coba aku gambarkan, kira-kira bagaimana bentuk aslinya." Sekarang kak Rene memberiku perlengkapan menggambar. Aku baru tahu perlengkapan kak Rene lumayan juga. Jangan-jangan kak Rene masih sering gambar meskipun ia tidak jadi mengambil jurusan arsitek.
YOU ARE READING
Tutrice
Teen FictionNaik-turun roda kehidupan tidak bisa dikendalikan oleh siapapun. Butuh kerendahan hati jika roda kehidupan berada di atas. Sebaliknya jika roda kehidupan di bawah, dibutuhkan hati yang besar dan ikhlas. Tidak ada yang perlu disesalkan. Semua butuh w...