#7

5 0 0
                                    

"Kost kakak di mana?" Akhirnya Rio membuka pembicaraan setelah sekian lama kami berdua hanya terdiam di dalam mobil. Bahkan mobil tempat kami berada masih diam dan belum bergerak.

"Belok kiri, terus nanti ada persimpangan belok kanan. Rumah susun nomor tiga dari kiri itu kost kakak." Aku menjelaskan. Rio menyetir mobil masih dengan suasana hening.

"Kak, kenapa kakak membiarkan lelaki tadi pergi begitu saja?" Rio bertanya setelah mobil berhenti di depan gerbang kostku.

"Kamu juga kenapa memberi bapak tadi uang bahkan menawarkan pekerjaan?" Aku balik bertanya.

"Kan tadi aku udah bilang kalau aku ngikut kakak. Kakak percaya dengan alasan preman tadi makanya aku juga ikutan." Rio menjawab.

"Bapak tadi bukan preman." Aku menegaskan. "Lagian kan kamu sudah tahu sendiri jawabannya. Kakak percaya dengan alasan bapak tadi. Kakak tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang sangat disayang. Untunglah bapak itu masih memiliki hati merawat ibunya. Bisa saja dia pergi meninggalkan ibunya kalau saja ia egois." Aku menjelaskan apa yang menjadi alasanku.

"Maaf kak, Rio bukan bermaksud membuat kakak sedih." Ya, semua tuteeku sudah mengetahui kalau papa sudah meninggal. "Oh, iya maaf yang tadi ya kak. Maaf aku ngaku-ngaku pacar kakak." Rio melanjutkan kata-katanya setelah beberapa saat keheningan kembali tercipta.

"Hm, tidak apa." Aku menjawab singkat tapi tatapanku lurus ke depan. "Kakak turun ya. Terima-kasih sudah menolong kakak dan mengantarkan kakak juga." Aku bergegas hendak turun tapi tanganku ditarik oleh Rio. "Ada apa?"

"Mulai besok setiap pulang ngajar, aku akan ngantar kakak." Kata Rio dengan nada memaksa.

"Gak usah." Aku menolak tawarannya.

"Gak. Aku gak mau kakak kenapa-kenapa. Untung tadi aku tepat waktu. Kalau aku telat dikit aja gimana? Gak tahulah apa yang akan dilakukan pada kakak." Rio mengutarakan kerisauannya. "Lagian kenapa sih kakak tidak melaporkan preman itu tadi ke polisi?" tanya Rio geram.

"Rio, dia itu bukan preman." Aku kembali menegaskan.

"Terserah lah kak." Kini ia melepaskan tanganku dan kembali menatap lurus ke jalanan.

"Lagian atas dasar apa kakak melaporkan bapak tadi?" Aku menjawab dengan pertanyaan juga.

"Ya apa yang dia lakukan itu termasuk perampokan yang disertai ancaman. Kalau kakak melaporkan dia, ya itu sesuai dong dengan Undang-Undang KUHP." Rio menjawab dengan geram.

"Kakak gak tahu dan gak hapal Undang-undang." Memang benar kalau aku tidak menghapal Undang-undang. Bahkan ketika SMA aku paling tidak suka pelajaran PKN.

"Iya loh kak UU KUHP pasal tiga ratus enam puluh lima ayat dua." Ia masih senantiasa menjelaskan.

"Emangnya itu bicara apa?" Sebenarnya tidak mengerti juga dengan apa yang dikatakan Rio. Namun setidaknya aku bisa menanggapi dari pada ia merasa berbicara sendiri.

"Kan dia merampok kakak loh. Melakukan ancaman juga dia tadi, dan di malam hari lagi." Rio masih menggeram.

"Terus hukumannya apa?" Aku penasaran juga.

"Kalau gak denda mungkin di penjara." Rio menjawab enteng.

"Gampang banget kamu mengatakan itu." Aku gondok dengan pernyataan Rio.

"Yah itu konsekuensinya. Aku mana bisa mengutak-atik Undang-Undang." Rio masih dengan nada enteng.

"Tega ya kamu." Aku menatap tajam kepadanya.

"Apa yang kita kerjakan itu ada konsekuensinya kak. Kalau tidak mau menanggung yang tidak kita suka, ya sudah jangan salah langkah." Ia membalas tatapanku.

"Ah sudahlah kakak mau turun. Kamu hati-hati ya." Aku menyerah. Susah kalau berdebat dengan Rio.

"Good night kak!" Serunya sesaat sebelum aku menutup pintu. Aku langsung melangkah membuka gerbang. Setelah masuk, aku kembali menutup gerbang tanpa menoleh Rio. Langsung saja aku melangkah menuju kamarku yang berada di lantai dua. Aku terlalu lelah. Lebih baik aku langsung mandi dan segera istirahat.

***

"Woi!" Bimbo mengagetkanku.

"Apaan sih Bim gue kaget tau." Aku kesal dan langsung saja memasang wajah garangku.

"Seram amat muka lu." Bimbo bergidik.

"Ya elu sih kagetin gue." Aku tidak mau kalah.

"Makanya jangan melamun. Masih pagi juga elu udah melamun. Lamunin apa lu?" Bimbo memang benar. Aku melamun yang tidak tahu entah apa yang aku pikirkan.

"Gak apa-apa." Aku menjawab singkat.

"Ah elu mah. Eh btw nanti malam sibuk gak?" Bimbo akhirnya menghiraukan pertanyaannya dan menanyakan hal yang lain.

"Kan elu tahu sendiri senin sampai jumat gue ngajar malam." Aku menjawab tepatnya mengingatkan Bimbo kembali. Entah sudah berapa kali aku mengatakan hal ini padanya tapi tetap saja ia lupa.

"Oh iya gue lupa." Memang si Bimbo ini kurang melatih ingatannya kali ya.

"Elu mah baru umur dua puluh tahun udah pikun aja." Jawabku.

"Maaf deh. Kalau gitu besok pagi gimana? Kan sabtu tuh." Bimbo memberi pilihan yang bahkan aku tidak tahu apa tujuannya.

"Besok sabtu minggu keempat jadi gue harus memberikan pengayaan pada tutee gue. Lagian mau ngapain sih?" Aku penasaran.

"Ajarin gue dong." Raut wajah Bimbo memohon.

"Ya sudah minggu sore aja ya sekitar jam tigaan." Tidak tega melihat wajah Bimbo yang seperti itu, akhirnya aku memberi tawaran.

"Oke deh." Kini wajah Bimbo berseri.

"Tugas yang gue kasih udah lu kerjain?" Kemarin aku sempat memberi tugas kepada Bimbo untuk mengerjakan soal-soal yang ada di modul bab satu.

"Udah dong." Jawab Bimbo bersemangat. "Bahkan gue udah kerjain yang bab dua." Ternyata Bimbo benar-benar ingin menaruh minat di mata kuliah abstrak.

"Mana coba gue lihat." Aku meminta pembuktian dan Bimbo langsung memberi modul dan juga buku tulisnya yang berisi jawaban. "Lah ini masih dua nomor juga." Ternyata hanya dua nomor dari soal bab dua yang masih Bimbo kerjakan.

"Iya kan gue bilang gue juga sudah kerjakan bab dua. Gue gak bilang bab dua juga sudah selesai gue kerjakan. Lagian bab satu juga udah selesai semua tuh." Benar juga pembelaan Bimbo.

"Iya deh." Akhirnya aku mengiyakan. Lebih baik menyetujuinya daripada berdebat. "Berarti gue periksa dulu ini ya." Aku mengambil buku tulisnya.

"Terus kapan lu kembaliin? Kan gue juga mau kerjakan soal yang lain."

"Lah emang elu mau kerjakan yang mana? Ini aja mentok di nomor dua." Aku bertanya.

"Iya deh. Jahat amat lu Re. Iya deh gue tau diri." Ya ampun, Bimbo salah paham nih.

"Maaf Bim maksud gue gak gitu." Aduh, gimana ya jelasin ke Bimbo. "Maksud gue, lu ngerjain soal mata kuliah lain aja dulu. Atau lu juga kan bisa ngerjain soal-soal yang ada di modul di buku yang lain. Supaya gue bisa periksa tugas lu dan kalau ada yang salah, minggu gue tau jelasinnya." Aku merangkai kata sedemikian agar Bimbo tidak tersinggung lagi.

"Oke deh benar juga usul lu. Ya udah deh gue ke sana dulu ya." Tunjuk Bimbo ke bagian dekat jendela di samping Bobi. "Gue duduk di samping Bobi gapapa kan?" Bimbo bertanya.

"Ya gapapa lah. Lagian ngapain juga elu ijin ke gue." Aku menyilakan.

"Oke Re nanti kita lanjut lagi ya. Eh pak Kirim udah datang tuh, gue pergi ya." Bimbo buru-buru menuju meja yang di samping meja Bobi. Oke, Kalkulus dua, aku siap menghadapimu.

***

TutriceWhere stories live. Discover now