*Rene's PoV
Entah apa yang menuntunku sampai ke tempat ini. Mungkin sudah menjadi kebiasaanku untuk mengasingkan diri di rooftop. Tanpa perintah dari otak, spontan aku akan berdiam diri di sini sekadar menenangkan pikiranku. Di sini aku menumpahkan semuanya. Aku menangis sejadinya. Ingin aku menyampaikan hal ini kepada kak Rafa. Namun aku takut itu akan menjadi beban baginya dan bisa saja kak Rafa menjadi tidak fokus saat kerja nanti. Lebih baik kekesalan ini aku taruh di dalam coretan diary.
Bandung, 27 Maret 2018
Ternyata mama tinggal di kota Bandung. Entah bagaimana Tuhan memakai cara ini supaya aku mengetahui keberadaan mama. Antara senang dengan kondisi mama yang tampak sehat-sehat saja atau sedih melihat mama akrab dengan lelaki lain. Aku masih ingat mama menelantarkan aku dan Shela dua tahun lalu. Untung saja kak Rafa langsung membawa kami ke Jakarta untuk tinggal sementara. Kak Rafa memang hebat sampai merelakan pindah kerja supaya bisa menjaga kami adik-adiknya. Aku tidak tahu bisa menerima mama kembali atau tidak. Namun, apakah mama masih menganggap kami anaknya? Jangan-jangan, mama sudah tidak peduli lagi dengan keadaan kami. Untuk saat ini biar aku saja yang mengetahui keberadaan mama. Belum saatnya Shela dan kak Rafa mengetahuinya. Tuhan, tolong aku untuk mencari informasi mengenai mama.
Entah apa yang membuatku lebih tenang saat ini. Air mataku sudah berhenti menetes meski aku dapat merasakan bahwa mataku sembam. Aku menutup diary cokelat itu dan memasukkannya ke dalam ransel export biruku. Ketika hendak menarik tanganku keluar, aku menyentuh benda berbentuk persegi. Yah, itu adalah ponselku. Ya ampun, lima belas pangilan tidak terjawab dari Rio. Aku membuka kunci dan melihat pesan Rio dari WA sudah tidak terhitung lagi.
Tutee Rio
Kak Rene sorry ya tadi ibu Gina memanggil aku
.
Kak, kakak masih di cafe kan?
.
Kak, 15 menit lagi ya
.
Kak, kakak di mana?
.
Kak, masih ada tugas kuliah ya? Yaudah kutungguin ya.
.
Kak, kakak di mana? Jangan buat aku takut dong kak.
.
Kak Rene.
.
Kak Rene
.
Kak Rene di mana?
.
.
Aduh, aku bahkan sampai lupa untuk memberi kabar pada Rio. Aku takut Rio menganggap aku melupakan janji. Lebih baik nanti malam saja sebelum masuk les private aku jelaskan kepadanya. Tidak beberapa lama, ponselku bergetar kembali. Benar, ini adalah pesan dari Rio.
Tutee Rio
Yes, akhirnya kak Rene read. Kakak ke mana aja sih? Aku khawatir tau kak. Bales dong kak.
Mau tidak mau aku harus membalas pesan Rio. Jangan sampai dia kecewa kepadaku.
Maaf dek tadi kakak ada urusan. Nanti waktu bimbel kakak jelaskan ya. √√
Tutee Rio
Oh, gapapa kak. Oke sampai berjumpa nanti malam kakak tutorku
Aku harus bersiap-siap pulang dan pergi ke rumah Clara. Kelima tuteeku sepakat bahwa les diadakan di rumah Clara. Itu sebabnya aku hanya tahu rumah Clara. Rumah keempat tuteeku yang lain aku tidak tahu berada di mana. Namun yang jelas pasti di kawasan Bandung. Untung saja tadi siang aku sudah belajar. Setidaknya nanti malam sepulang mengajar aku bisa tidur lebih cepat.
***
Seperti biasa, aku selalu tiba kurang lebih lima belas menit sebelum pembelajaran berlangsung. Maksimal 18.15 aku sudah berada di rumah Clara. Namun aku tidak lupa untuk mengisi perut sebelum berangkat ke sini. Sungguh hal yang konyol jika di tengah-tengah mengajar nanti aku pingsan karena tidak memiliki tenaga. Tidak jarang juga tante Naomi –mamanya Clara- menyediakan camilan atau roti untuk kami.
Sesampainya di rumah Clara, tante Naomi mengatakan kalau Clara baru pulang latihan Balet. Sekarang ia masih di kamar. Mungkin sedang mandi dan mempersiapkan alat tulis. Tante Naomi juga buru-buru hendak ke kantor Om Tendean. Sepertinya ada acara di kantor Om Tendean. Jadilah aku duduk sendiri di ruang tamu. Biasanya anak-anak akan mengajak untuk belajar di saung halaman samping rumah Clara. Namun aku memutuskan untuk menunggu di sini dahulu supaya nanti jika Clara sudah selesai mandi, ia bisa tahu kalau aku sudah tiba. Tidak beberapa lama, Rio datang. Anak ini memang selalu datang cepat. Bahkan sering sekali ia yang datang duluan sebelum aku.
"Pantesan di saung gak ada orang padahal tadi aku lihat sepatu kakak. Ternyata kakak di sini." Rio langsung duduk tepat di samping kiriku.
"Clara lagi mandi. Tante pergi tadi. Nanti kalau kakak langsung ke saung, yang ada Clara pikir kakak belum datang lagi." Aku menjelaskan.
"Oh gitu." Rio menganggukkan kepalanya pertanda mengerti alasanku. "Eh anyway, tadi kenapa emang kak?" Hm, sekarang ia mengubah posisi duduknya sehingga langsung menghadap sisi sampingku.
"Oh itu, anu." Aduh, kok aku jadi speechless begini ya?
"Kenapa kak?" sepertinya Rio tahu kalau aku speechless.
"Itu, tadi kakak sudah tungguin dari jam 14.45. Kayaknya kakak nungguin sampai jam tiga lewat deh. Terus tiba-tiba aja tadi kakak teringat sesuatu yang harus dikerjakan." Ya, aku berbohong. Oh Tuhan maafkan anak-Mu ini. Aku belum siap menceritakan masalahku pada Rio.
"Yah, maaf ya kak. Pasti karena aku kan makanya kakak lupa sama urusan kakak." Nada suara Rio membuatku merasa bersalah. Padahal dia tidak bersalah di sini. Aku saja yang tidak memberi kabar.
"Kakak yang minta maaf dek. Maaf tadi kakak gak ngabarin. Habisnya tadi kakak buru-buru." Kali ini aku tidak berbohong. Benar tadi aku buru-buru pergi dan lupa memberi kabar pada Rio.
"Rio yang minta maaf kak. Urusan kakak itu udah selesai kan kak?" setelah ada jeda, aku menganggukkan kepalaku tanpa berkata apa-apa. "Kalau gitu, kakak mau maafin Rio kan?" Aku semakin merasa bersalah. Apalagi kini sorot mata Rio layaknya orang yang memohon dibebaskan dari hukuman.
"Never mind dek." Aku memegang kedua sisi bahunya menandakan bahwa aku memaafkan dia. Bagaimana tidak, seharusnya aku yang memohon agar dimaafkan. "Eh, by the way, kita reschedule deh ketemuannya. Kakak gak mau melewatkan sharing kamu." Aku mengusulkan ide. Tepatnya sebagai tebusan atas rasa bersalahku.
"Terserah kakak deh bisanya kapan. Nanti tinggal aku cocokkan dengan jadwalku. Kakak bisanya kapan?" Rio malah balik bertanya.
"Hm, kalau besok, kakak full seharian. Jumat, kamunya yang full seharian. Kalau sabtu? Kalian kan libur tuh. Kakak juga gak ada kelas di hari sabtu." Aku mendaftarkan jadwal kosongku.
"Sabtu ya kak?" Aku langsung mengangguk. "Aku gak ada kegiatan apa-apa sih di situ. Tapi bukannya sabtu ini jadwalnya kita pengayaan ya kak? Ini kan minggu keempat kak."
"Oh iya benar ini minggu keempat. Kakak hampir lupa." Bahkan aku lupa kalau ini minggu keempat. Untung saja Rio mengingatkan. Aku dan kelima tuteeku memang sudah sepakat untuk mengadakan pengayaan setiap minggu kedua dan keempat. Aku melakukan ini untuk melihat sudah sejauh mana pemahaman mereka terhadap materi yang telah aku berikan. Ya, sejenis try out sederhana. Namun bedanya aku yang menyusun soal-soalnya.
"Ya sudah. Kalau begitu pengayaan di rumah Rio aja kak. Nanti Rio kirim alamatnya ke kakak. Soalnya mereka sudah tahu rumah Rio. Jadi nanti selesai pengayaan, mereka pulang, tapi kakak stay dulu. Kita cerita-cerita." Rio mengusulkan.
"Oh oke deh gitu juga bisa." Aku menyetujui. "Eh teringatnya mereka mana ya? Clara juga lama amat." Tumben tuteeku belum datang juga padahal jam sudah menunjukkan pukul 18.27.
"Iya mereka kok lama ya kak. Atau mungkin mereka baru pulang dari sekolah kali kak. Soalnya tadi ada pertandingan basket, sekolah kita lawan SMK Murni Sadar. Tapi aku gak nonton. Kita tunggu aja kak pasti mereka datang kok." Setelah berkata demikian, Rio mengambil buku dan mulai mencoret-coret bukunya yang aku lihat berisi soal-soal Fisika. Sekarang aku berinisiatif menanyakan kabar kepada anak-anak lainnya dan menghubungi Clara.
***
YOU ARE READING
Tutrice
Teen FictionNaik-turun roda kehidupan tidak bisa dikendalikan oleh siapapun. Butuh kerendahan hati jika roda kehidupan berada di atas. Sebaliknya jika roda kehidupan di bawah, dibutuhkan hati yang besar dan ikhlas. Tidak ada yang perlu disesalkan. Semua butuh w...