Chapter 2

122 15 1
                                    

Ajun berjalan keluar dari UKS dengan langkah yang tertatih, sekarang kakinya sudah tidak terlalu sakit tapi dia masih belum bisa menggerakkan kakinya yang terkilir dengan normal.

"Hari ini ada ulangan harian Matematika kan? Ck, gue harus ikut ulhar susulan kalau gitu." Ajun bermonolog sembari terus berjalan menyusuri lorong. Ketika melihat ke arah depan dia mendapati Tanto sedang berlari ke arahnya, ekspresi sahabatnya itu terlihat tidak senang.

Tanto melambatkan kecepatan berlarinya setelah hampir tiba di dekat Ajun, genggaman tangannya yang sedang menggenggam ponsel mengerat seolah siap meremukkan ponsel itu kapan saja. Dia berjalan mendekat ke arah Ajun dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Lo kena—" Ajun hendak bertanya namun ucapannya terputus setelah Tanto mendorong tubuhnya hingga membentur dinding, dia meringis setelah tulang punggungnya membentur dinding dengan cukup keras. "Lo apa-apaan sih?!"

"LO YANG APA-APAAN!" Suara bariton Tanto menggema di lorong, membuat Ajun tertegun karena selama dia berteman dengan Tanto baru pertama kali ini sahabatnya itu membentaknya. "LO PIKIR LUCU NGEJADIIN KASUS TERBUNUHNYA AYAH GUE SEBAGAI BAHAN BERCANDAAN?!"

Ajun tidak mengerti, dia tidak merasa telah membuat sebuah candaan dengan menggunakan kasus apapun. "Maksud lo apa? Gue nggak ngerti."

"Jangan pura-pura bego!" Tanto menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan sederet chat dari nomor yang tidak dikenal tepat di depan wajah Ajun.

Ajun terkejut bukan main setelah membaca isi buble chat terakhir.

Unknown
[7 Mei, empat tahun yang lalu, ingat? Bokap lo mati terbunuh di tanggal itu. Lo pasti kangen sama dia, iya kan? Gue tahu gimana caranya supaya lo bisa ketemu sama bokap lo lagi. Caranya simple, lo cuma harus mati juga biar bisa ketemu dia di akhirat WKWKWK —Ajun]

Ajun berani bersumpah atas nama Tuhan sebagai bentuk pembelaan diri bahwa yang mengirim semua chat itu bukan lah dirinya. Hari ini dia bahkan tidak membawa ponsel karena ponselnya masih diperbaiki setelah kehujanan dua hari yang lalu.

"Apa tujuan lo ngirim semua chat ini ke gue?! Buat apa hah? BUAT APA LO NGELAKUIN INI?!"

"BUKAN GUE!" Ajun balas berteriak tidak kalah kencang, "demi Tuhan bukan gue, Tan. Hari ini gue bahkan nggak bawa hp, itu pasti orang lain yang lagi mencoba buat mengadu domba kita." Ajun mengatakan dugaannya, mungkin saja ada seseorang yang sedang berusaha mengadu domba dirinya dengan Tanto lewat semua pesan itu.

"Orang lain? Siapa? Di sini siapa yang tahu tentang kasus itu selain lo dan gue?" Sebelum Ajun sempat menjawabnya Tanto sudah lebih dulu melontarkan tuduhan lain, "lo pasti nyuruh orang lain buat fotoin kita waktu kita lagi di pinggir jalan tadi kan? Biar gue nggak curiga sama lo." Tanto menuduh demikian tanpa berpikir dua kali, karena pikirannya mendadak kacau setelah membaca semua pesan itu. Marah yang menguasai dirinya kini membuat otaknya tidak bisa berpikir secara logis.

Ajun mendengus, mulai lelah menghadapi Tanto yang sedang meluapkan emosi padanya. "Buat apa gue bikin lo nggak curiga kalau ujung-ujungnya di chat terakhir gue nambahin nama gue sendiri di situ? Gue nggak akan sebego itu nambahin nama sendiri kalau dari awal gue memang mau lo nggak akan pernah mencurigai gue. Paham?"

Benar juga. Tanto tidak berpikir sampai ke situ, jelas karena emosinya kini membuat otaknya tidak bisa berpikir dengan jernih.

Tanto mencoba menenangkan dirinya, dia bersandar ke dinding dengan kepala yang menunduk. Tiba-tiba saja dia ingin memiliki kekuatan teleportasi supaya bisa pergi dari hadapan Ajun secepat mungkin, karena merasa malu sudah bertindak gegabah dengan mendorong dan membentak sahabatnya itu beberapa kali.

[✔] Why? || TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang