Chapter 11

66 13 1
                                    

"Pantesan, selama ini dia keliatan mencurigakan." ujar Cio setelah Yohan selesai menjelaskan bagaimana dia bisa tahu tentang identitas si peneror.

"Lo juga sadar gerak-geriknya mencurigakan?" tanya Yohan yang dijawab dengan anggukan oleh Cio.

"Gue nggak nyangka ternyata dia kaki tangan si peneror alias bokapnya alias juga pak Andre," kata Dodi.

Kedua belas murid Treasure Class itu kini sedang berkumpul di ruang musik gedung Kristal, Yudis sempat memastikan apakah Jaja ada di Treasure Class ataukah tidak. Dan ternyata Jaja melarikan diri lewat gerbang belakang sekolah setelah mengambil tasnya.

"Sekarang gimana? Bokapnya dia mau dilaporin ke polisi?"

Semua menoleh ke arah Tanto setelah mendengar pertanyaan Ajun yang dilontarkan kepada pemuda tersebut. Tanto membalas tatapan teman-temannya dengan mengedikkan bahunya.

"Gue mau cari tahu dulu alasan mereka meneror gue itu apa, baru setelah itu gue bakal laporin bokapnya si Jaja ke polisi."

"Saran gue mending langsung lo laporin aja, toh nanti polisi juga bakal menginterogasi pak Andre dan dari interogasi itu kita bisa tahu apa alasannya, iya kan?"

Hampir semua dari mereka mengangguk setuju dengan saran yang diajukan oleh Jaenal, tapi Tanto menjawab saran itu dengan satu gelengan kepala.

"Gue bakal tetap cati tahu dulu alasannya, baru setelah itu laporin bokapnya ke polisi."

...

Hampir tidak ada yang ditakuti oleh seorang Jaja Pratama kecuali rasa kesepian. Dia takut sekaligus benci hal itu.

Selama delapan belas tahun hidup di dunia ini dia dibesarkan oleh seorang ayah yang selalu sibuk, selalu meninggalkannya sendirian di rumah bersama mainan yang tidak bisa menghilangkan rasa kesepian dalam dirinya.

Jaja hanya membutuhkan perhatian lebih dari ayahnya, tapi selama ini dia nyaris tidak pernah mendapatkan itu.

Dia selalu iri setiap kali melihat anak-anak lain ditemani oleh orang tua mereka saat hari pertama masuk sekolah, dan dia juga iri ketika melihat anak-anak lain sedang bersama ibu mereka. Jaja juga ingin punya ibu, seorang ibu yang menyayangi dan selalu ada untuknya.

Selama ini yang berhasil membuatnya merasa tidak kesepian adalah dengan memiliki teman, terkadang dia mengajak seorang teman ataupun beberapa orang temannya untuk menginap di rumah. Itu dia lakukan supaya rumah besar yang dihuni olehnya dan juga oleh ayahnya tidak terlalu sunyi.

"Sial."

Namun setelah apa yang terjadi pada hari ini, Jaja menjadi ragu akan memiliki teman lagi. Apakah teman-teman sekelasnya akan tetap mau berteman dengannya setelah mengetahui fakta yang seharusnya dia rahasiakan? Jaja tidak tahu. Yang dia tahu adalah mulai besok dia pasti akan dijauhi oleh teman-temannya.

Jaja membanting tas sekolahnya ke atas tempat tidur, dia melepas seragam sekolahnya lalu melemparnya begitu saja di lantai. Menyisakan kaos berwarna hitam yang melekat di tubuhnya. Celana sekolahnya tetap dia gunakan.

Pemuda itu mengacak rambutnya hingga berantakan, penampilannya saat ini tidak jauh berbeda dengan seseorang yang sedang depresi.

Ketika pintu kamarnya terbuka, Jaja langsung menoleh ke arah pintunya. Dari balik pintu berwarna biru muda itu muncul ayahnya.

"Pa-Papa?"

Andre berjalan menghampirinya, pria tua itu berekspresi tidak senang. Tangannya mengepal kuat seolah siap melayangkan tinju pada apapun.

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Jaja, pemuda itu sampai menoleh ke samping karena saking kerasnya tamparan dari ayahnya. Rasa perih mulai menjalar di seluruh pipinya, membuat pipinya memerah. Ujung bibirnya sedikit sobek hingga mengalirkan sedikit darah dari sana.

[✔] Why? || TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang