Mandalika

20 5 2
                                    

"Ngapain sih harus malu? Indonesia dari sabang sampe merauke banyak banget keragamannya termasuk budaya dan tradisi. Ritual itu 'kan salah satu permohonan do'a pada yang kuasa, cuman caranya aja yang berbeda." papar Dean.

"Cerdas dikit-lah, pawang hujan yang notabene bekerja dibalik layar tapi malah dipamerin begitu? Itu tandanya apa? Marketing-lah!" timpal gue.

"Kok marketing sih?"

"Iya, itu termasuk promosi luar biasa menurut gue. Gak semua negara ada ritual seperti itu. Gue aja yang gak terlalu suka nonton MotoGP, jadi penasaran dengan apa yang terjadi di Mandalika sana. Mayan tuh, disiarin di seluruh dunia!"

Gak terasa kurang lima menit lagi pukul sebelas malam. Sebelumnya gue dan Dean berbincang banyak mengenai MotoGP dimana shaman alias pawang hujan di sirkuit Mandalika jadi pusat perhatian bagi orang asing, entah kenapa merembes ke pembahasan yoga. Dean percaya kekuatan shaman, yang sama halnya orang asing percaya yoga. Gue realistis kalo bahas beginian, tapi gak bisa dipungkiri juga kalo yoga dan shaman—teknik purba manusia Asia—adalah cara mereka berkomunikasi dengan alam dan binatang.

"Makan bakso enak nih, Pharm. Kuy!" ajak Dean tiba-tiba.

"Aight, cape banget naik-turun tangga."

Jadi, kost gue ini persis banget di sampingnya itu ada makam. Kebetulan sejak awal kuliah sampai kerja gue dapatnya kamar atas. Di lantai atas ada enam kamar dan empat diantaranya udah terisi. Dean gak nanggung-nanggung mau makan bakso tengah malam, dan gue gak suka bakso. Gue gak ikut. Karena sekarang posisi gue sendirian, gue tutup aja tuh pintu kamar. Eh, gak lama kemudian malah kedengaran ada suara orang lari-lari di depan kamar dari ujung ke ujung. Berisik banget.

"Gak mungkin juga anak kost pada lari-larian tengah malem, 'kan...." batin gue.

Hal itu berlangsung lama sampai-sampai gue emosi. Bukannya gue takut, yang ada malah bikin badmood. Pertama, gue dengar suara yang seperti lagi mencakar sesuatu dan gue pikir itu suara kucing di plafon. Langsung gue cek takut roboh karena suaranya itu dari dapur ujung yang isinya banyak barang pecah belah. Setelah gue cek; aman, gak ada barang jatuh dan suara—cakaran—kucingnya pun hilang. Ini emang gue lagi halusinasi karena seharian kerja double job; sepertinya. Kalau aja bukan karena status kekerabatan, udah pasti gue gak mau bantu si Rosee di bagian quality control dan quality assurance dalam satu waktu. Kedua, gue balik ke kamar buat rebahan lagi. Terdengar suara barang jatuh, gue cek dan tetap gak ada apa-apa. Gue balik ke kamar, eh, suara aneh itu ada lagi. Sampai pada akhirnya gue nyerah ditambah malas gerak. Gue mendongkol.

"Diem, AJG! Gue cape!" gue teriak membentak sesuatu yang gak masuk akal, tapi percaya gak percaya emang langsung gak ada suara apa-apa lagi setelahnya. 

Siapa Itu? the SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang