Seorang gadis kecil berlari membuat rambut panjangnya tertiup-tiup angin. Tawanya begitu bahagia tanpa ada sedikitpun riak kesedihan di wajahnya.
" Alsy, sudah cukup, Aya lelah," teriak gadis itu berhenti berlari. Nafasnya tersengal tapi senyumnya masih terulas manis di bibir mungilnya.
Lelaki yang terpaut 4 tahun itu ikut berhenti mengejarnya. Tersenyum dengan mengusap puncak kepala Aya mengacak-acak rambutnya.
"Alsy jangan menyentuh rambut Aya, nanti rusak." ucap gadis kecil ini. Ingin membalas mengacak rambut lelaki itu juga.
Tapi Alsy menghindar dan berlalu dengan tawaan jailnya. Hingga
Brugg!
Aya terjatuh. Lututnya berdarah. Gadis itu menangis membuat Alsy merasa bersalah. Alsy menurunkan tubuhnya. Mengusap luka itu dan meniupnya.
"Maafkan Alsy, Aya, Alsy tidak sengaja, maaf," lirih Alsy.
Aya terus menangis. Tapi kini Alsy merubah posisinya. Membelakangi Aya.
"Aya, naiklah, biar Alsy gendong ke rumah."
Aya menurut. Di perjalanan Aya pun berhenti menangis. Menatap sahabatnya itu dengan sebuah senyuman kecil. Gadis kecil itu menyukainya.
***
Seorang gadis berseragam putih abu abu tengah terduduk di halte. Dengan sebuah tas dekapnya. Hujan masih turun begitu deras di sore hari. Membuatnya semakin risau dengan jingga yang perlahan menghilang berganti gelap.
Seseorang ikut meneduh turun dari motornya. Seorang lelaki yang nampak rapi dan duduk beberapa meter darinya.
Hulya kembali memfokuskan pandangannya ke depan. Menatap hujan yang tak kunjung mereda.
Drtttt.. Drttt..
"Waalaikumsalam, Ibu."
"Hulya, kamu di mana? Sebentar lagi magrib."
"Maaf ibu, Hulya lupa beri tau, dari siang tadi Hulya diajak teman untuk bermain yang terakhir kali di kafe, sebelum besok hari kelulusan tiba, dan sekarang hulya sedang menunggu hujan reda di halte."
"Baik, Hulya, hati-hati di jalan ya sayang."
"Iya, Bu."
Sambungan telpon terputus. Hulya kembali menyimpan ponselnya di saku. Kini pendengarannya teralih oleh lantunan ayat Qur'an yang bergumam cukup pelan. Walau hujan turun sangat deras suara itu masih sangat terdengar membuat Hulya perlahan melirik pemilik suara di sampingnya.
Laki-laki itu menyadari. Segera menghentikan bacaannya. "Maaf, mbak, jika terganggu," ucap lelaki itu.
Hulya berusaha tersenyum. "Tidak apa-apa, sama sekali tidak terganggu." ucap Hulya cepat.
"Maaf sekali lagi, sepertinya hujan akan lama turun, sebentar lagi akan larut malam juga. saya ada payung di motor, mbak bisa bawa saja." ucap lelaki itu lembut. Menyodorkan satu payung di motornya.
"Tidak perlu, Mas, saya tunggu hujan reda saja."
"Sebentar lagi malam, saya dengar orang tuamu juga hawatir, bawa saja payung ini."
Hulya pun akhirnya mengambil payung itu. Ia tidak mau membuat Ibunya juga hawatir, ditambah sebentar lagi malam.
Hulya berdiri sambil membuka payungnya. Sebelum pergi hulya tersenyum. "Terimakasih, Mas."
Lelaki itu ikut tersenyum lalu mengangguk.
Di tengah perjalanan. Dengan hujan yang masih lebat. Hulya terus berjalan pelan di trotoar.
Kenapa aku seolah mengenalmu, mata itu mengingatkanku pada seseorang, apa sebelumnya kita pernah bertemu? Apa sebelumnya kita pernah saling mengenal?
Ijinkan aku memanggilmu Alkahfi, hanya itu yang aku tau saat suara lantunan surah itu menjadikan aku mengenalmu.
Ucap batin Hulya.
***
Seorang lelaki membuka pintu rumah, dengan sapaan lembut ia tersenyum disambut seorang yang gadis tengah duduk di ruang keluarga."Assalamualaikum, yumna."
"Waalaikumsalam, abang." ucap gadis bernama yumna itu tersenyum manis.
"Umi di mana, dek?"
"Ada di dapur."
"Bukannya bantuin."
"Abang, umi nyariin abang loh, kata umi gini-" ucap yumna terpotong. Umi fara dari arah dapur mengomel.
"Dari mana saja, Alshad, kamu tidak capek pulang dari madinah besoknya malah keluar rumah." ucap fara.
Yumna menahan senyumnya. "Nah gitu kata umi." bisik yumna pada Alshad seketika tertawa pelan.
Alshad mengacak-acak hijab yang di kenakan adiknya lalu tersenyum kikuk didepan uminya.
"Alshad tadi mengurus berkas di pesantren Al-ihsan. Sekalian berbincang dengan teman lama Alshad disana, umi."
"Terus bagaimana,"
"Faza, teman lama Alshad sekaligus pemilik pesantren Al-ihsan sekarang sedang butuh bantuan Alshad. Pak kyai Yusuf minggu lalu meninggal um, jadi Faza yang harus mengurus semuanya."
"Innalilahi.. Ya sudah, kamu bantu nak Faza, Amalkan ilmu yang kamu dapat di madinah, Alshad."
"Iya Umi, insyaallah."
Umi kembali ke dapur. Alshad segera masuk kamarnya dan membaringkan tubuh yang nampak lelah. Matanya terpejam. Mengambil sebuah kertas dibawah bantal yang bertuliskan.
______________________________
Assalamualaikum A. Alshad...
Ijinkan aku menjawab pertanyaanmu minggu lalu. Dalam surat ini aku akan mengatakan alasanku diam saat kamu mengatakan ingin aku untuk menjadi pelengkap tulang rusukmu, penyempurna ibadahmu kepada Allah Swt.
Sebulan lagi kepergianku untuk ke mesir, melanjutkan pencarian ilmu yang masih dangkal dan masih kurang dari cukup.
Di negri gurun nanti, akan aku sampaikan perasaanku.Terimakasih telah mencintaiku, terimakasih telah mengatakan keinginanmu untuk memilikiku.
____________________________
"Aruni, kapan kamu kembali?" bisik Alshad. Terdengar helaan nafas begitu berat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Surgaku
Duchowe(spiritual-romance) Kisah yang sedih dalam kehidupan seorang gadis yang ditinggal pergi kedua orang tua, dinikahi oleh seorang lelaki dari sahabat lama. Pertemuan dan di waktu yang tepat. Alshad memang mencintai seseorang, tetapi ia menyayangi Hulya...