Setelah prosesi pemakaman selesai dan semua orang berangsur pulang. Alshad kini berdiri tak jauh dari tempat hulya terduduk. Tubuhnya kini nampak lebih tenang dengan tangan yang tak henti mengusap nisan sang ayah. Tak ada tangisan. kini hulya tersenyum kecil.
"Ayah, Aya berjanji akan menjaga ibu, hulya berjanji akan menjadi perempuan baik seperti yang ayah harapkan, hulya berjanji, ayah," lirihnya.
Awan hitam perlahan menutupi langit langit kota. Alshad menenggadah pandangannya keatas lalu kembali menatap hulya didekatnya.
"Hulya, hujan akan turun, sebaiknya kita pulang, ibu mu menunggumu di rumah."
Hulya menoleh sebentar, lalu kembali memeluk nisan ayahnya untuk yang terakhir.
"Ayah, hulya akan kembali, dan suatu hari nanti hulya akan temani ayah." Pamit hulya. Tersenyum.
Hulya melangkah lebih dulu. Kemudian Alshad dibelakangnya. Alshad ikut bernafas lega, begitu kuat gadis didepannya ini, ia masih tersenyum setelah sosok pahlawan dihidupnya pergi.
Ditengah perjalanan, rintik hujan kini perlahan turun.
"Hulya, kita berteduh dulu."
"Tidak, Alsy, em.. maksudku kak Alshad, aku ingin cepat sampai rumah. Ibu sendirian,"
"Ada umi dan Yumna di rumahmu, bibi tidak akan sendiri,"
"Tidak, aku ingin pulang,"
"Kamu tidak berubah Aya, masih seperti dulu, keras kepala."
"Aku ingin pulang."
"Besok hari kelulusanmu, Nanti kamu sakit, kamu tidak akan bisa menghadirinya."
"Tidak apa apa, lagian ayah tidak akan melihatnya besok."
Alshad terdiam.
Hujan semakin turun dengan deras, tak berani menatap alshad di depannya. Hulya terus melangkah melawan hujan. Alshad hanya menghela nafas tak akan pernah memaksanya.
Kini keduanya terus berjalan. Jarak menuju rumah yang tak perlu memakai kendaraan.
Hulya menatap alshad di samping nya. Ada setitik bahagia yang tak pernah ia katakan pada siapapun. Lelaki yang sangat ia rindukan setelah 13 tahun terpisah kini ada di sampingnya. Lelaki yang ia temui di halte saat hujan.
Saat hujan pula tanpa terasa hulya menumpahkan tangisnya tanpa suara, tangis yang ia tidak ingin perlihatkan pada siapa pun lagi. Ia berjanji akan menjadi wanita kuat, jangan sampai tangisnya terlihat oleh Alshad.
***
Hulya kembali pulang bersama Alshad dibelakangnya. Tatapan hulya tetap kosong. Yumna di depan pintu memeluknya begitu erat.
"Kak Aya! Yumna merindukan kakak, sudah lama tidak bertemu."
Hulya tersenyum. "Dulu Yumna masih kecil ya, kak Alshad? Sekarang adikmu ini sudah besar." Ucapnya membalas pelukan.
"Yumna, boleh temani dulu ummi dan bibi?" Ucap Alshad, seolah memberi sinyal untuk memberi waktunya bersama Hulya berdua.
Yumna mengangguk, "baik kak," ucap Yumna berlalu.
"Aya."
Hulya menatap sejenak Alshad lalu menunduk.
"Kemana saja, Alsy? Kamu pergi terlalu lama, sampai aku tidak mengenalmu sekarang."
"Dulu terlalu kecil untuk aku mengerti, aku hanya ikuti apa yang orang tuaku mau, pergi keluar kota hingga meneruskan pendidikan ke Madinah dan baru selesai sebulan yang lalu. Dan memutuskan kembali ke kota ini walau tidak di samping rumahmu karena bukan milik keluargaku lagi."
"Kenapa tidak mencariku?"
"Bagaimana aku mencarimu? Kapan kesempatan memberiku untuk bisa bertemu denganmu, Aya? Daerah ini sudah banyak berubah, dan aku lupa, terlalu kecil dulu untuk mengingatnya. Tapi dari dulu aku yakin kita akan kembali bertemu."
"Alsy, aku hanya punya Ibu sekarang, tidak ada siapa siapa lagi, aku mohon jangan pergi seperti dulu, aku tau kini kita telah dewasa, tapi aku mohon jangan ada yang berubah seperti Alsy yang ku kenal sebelumnya."
Alshad tersenyum, "Tidak ada, Aya," ucapnya.
Di sela percakapan keduanya, Yumna kembali menemui Alshad."Kak Alshad, katanya bibi ingin bertemu kakak."
Alshad memasuki kamar. Disana bibi terduduk dengan tubuhnya nampak lemah di kasur, tapi senyuman di wajah setengah bayanya nampak terus menguatkannya. Alshad duduk disamping bibi.
"Iya bibi."
"Alshad, sudah lama bibi tidak bertemu, kini sudah besar ya?" ucap Bibi begitu pelan.
Alshad tersenyum.
"Ada sesuatu yang mau bibi katakan. Ini tentang Aya."
"Tentang Aya?" Bibi mengangguk.
"Alshad tau? Betapa bersyukurnya bibi bertemu denganmu, saat berita ayah Aya meninggal, pertama yang Ibu hawatirkan adalah Aya. Kenapa? Karena bibi takut, bibi juga tidak bisa menemaninya lama."
Ucapan itu sekilas membuat Alshad menautkan kedua alisnya. "Tidak bibi, bibi akan terus menemani Aya, baik bibi mau pun Aya akan baik-baik saja."
"Semoga, Alshad. Itu yang bibi harapkan, tapi entah sampai kapan bibi harus sembunyikan semua ini dari Aya, sebelum ayah Aya meninggal, dia yang mengurus semua kebutuhan bibi, dan menyembunyikan rasa sakit bibi dari Aya, membawa bibi ke dokter tanpa sepengetahuan dia. Dan kini ... ayah Aya telah tiada, bibi yakin Aya akan tau nanti.
"Bibi kenapa? Bibi sakit apa?"
"Bibi tidak akan menyembunyikan sakit bibi darimu Alshad. 6 bulan lalu bibi terus merasa sakit bagian dada. Saat mengeceknya, begitu sesak rasanya saat tau, bibi mempunyai penyakit kanker paru, dan selama itu bibi menyembunyikan dari aya, bibi takut Aya hawatir."
"Bibi kira, bibi yang akan pergi duluan, membuat bibi lebih tenang karena ada ayah Aya yang menjaganya nanti. Tapi qadarullah, ayah Aya yang lebih dulu meninggalkan, semakin bibi hawatir, setelah kepergian bibi selanjutnya, siapa yang akan menjaga Aya?"
"Bibi, sakit bibi akan sembuh, jangan pernah bicara seperti ini, jika hulya mendengar ia akan lebih sedih."
"Sedih mana jika ia mendengar penyakit bibi ini, Alshad?"
Alshad kini terdiam, menunduk.
"Tolong bantu bibi, bisakah kamu sembunyikan penyakit bibi dengan kamu menikahi Aya?"
Alshad sontak menatap bibi.
"M-menikah?" Ucap Alshad tak percaya.
![](https://img.wattpad.com/cover/305491448-288-k19075.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Surgaku
Spiritual(spiritual-romance) Kisah yang sedih dalam kehidupan seorang gadis yang ditinggal pergi kedua orang tua, dinikahi oleh seorang lelaki dari sahabat lama. Pertemuan dan di waktu yang tepat. Alshad memang mencintai seseorang, tetapi ia menyayangi Hulya...