4. Coklat Emas

783 98 3
                                    

Wenddy kembali terbangun di atas kasur yang sama bedanya ada seseorang yang ikut tidur di sebelahnya. Dia tidak sadar ketika Jailen menidurkan dirinya di atas kasur. Di bawah selimut yang sama pria itu tidur lelap.

Wajahnya terlihat lelah apakah tubuhku seberat itu hingga kamu kelelahan? pikir wanita itu.

Ditatap dengan rinci setiap bagian di wajah Jailen. Sempurna hanya satu kata untuk menjelaskan semuanya. Dengan melihatnya saja Wenddy merasa bahagia. Apakah dia boleh sebahagia ini? satu hari penuh dia lewati tanpa kesedihan.

Tidur lagi. Masih malam. Ternyata Jailen tidak tidur. Wanita itu memberanikan diri menyentuh hidung Jailen. Hmmp. Pria itu menarik tubuh Wenddy kedalam pelukannya.

Jailen mengecup kepala wanita di pelukannya. Tidur. Suruhnya pelan. Wenddy membalas pelukan Jailen menenggelamkan wajahnya mencari kenyamanan di pelukan Jailen lalu berharap bisa kembali ke alam tidurnya.

Bisa saja, kan? Wenddy lebih memilih bangun menikmati malam ini dalam keadaan sadar di bandingkan tertidur lalu tersadarkan dengan fakta semua yang di laluinya hanya mimpi semata. Dirinya akan sangat kecewa jika hal tersebut benar terjadi.

***

Wim. Memanggil laki-laki di seberang dengan alat komunikasi di telinganya.

"Sudah beres?" lanjutnya.

"Pertanyaan mu sungguh tidak jelas? Dominic atau.. belum selesai Wim menjelaskan Jailen langsung memotong.
"Dua duanya."

"Tentu saja Dominik belum mati dan Passport sudah siap. Kita harus menyelesaikannya bersama, kak." Wim menekan kalimat terakhir.

"Baiklah, kita selesaikan semuanya malam ini." Jailen langsung menutup komunikasi mereka. Wim sekarang sedang berdecak kesal selalu seperti ini pria itu selalu memutuskan secara sepihak.

Sebenarnya Jailen buru-buru menutup percakapan itu karena mendengar tangisan wanita dari dalam kamar. Itu jelas suara Wenddy. Jailen berlari sambil membawa spatula di tangannya sejak tadi dia sibuk memasak di dapur sambil menelpon Wim.

Mereka berpapasan di lorong. Rambut wanita itu kususut sepertinnya dia mengasak rambutnya. Dengan mata merah dan berair Wenddy berlari melihat pria yang di carinya sejak dia terbagun dari tidur.

...

Wenddy kaget saat terbangun hanya sendirian, dia tidak mau lagi sendiri dia butuh Jailen apapun akan dia korbankan asalkan tetap bersamanya. Wanita itu menghambur memeluk tubuh besar Jailen. "Ku pikir kamu meninggalkan ku." Isaknya.

"Astaga, aku tidak akan meninggalkan mu Wenddy." Merangkul tubuh Wanita yang memeluknya.

"Aku sedang masak. Saat bangun kulihat kamu tertidur dengan lelap. Aku tidak tega membangunkan kamu". Menjelaskan semuanya agar Wenddy tenang.

"Kalau begitu sekarang kita makan. Semuanya sudah siap." Jailen melepas rangkulannya melihat wajah Wenddy.

Tangannya ingin menyentuh ingus di hidung Wenddy sampai gerakannya terhenti karena pertanyaan Wenddy. "Mau apa kamu?" menatap tajam Jailen.

"Mengelap ingusmu. Lihat hidungmu sampai merah." Sekarang bukan hanya hidung tapi wajah wanita itu ikut merah dia malu karena memperlihatkan rupa jeleknya.

"Tidak." Tolaknya sambil menutut hidung dan mulutnya.

Jailen terseyum dia tahu Wenddy sedang malu. Jangan Senyum terus. Larang Wenddy. Tidak baik untuk jantung ku. Lanjutnya Lebih baik tunjukan di mana toilet.

"Baiklah, Tuan putri, lewat sini." Jailen mendorong tubuh Wenddy ke arah toilet seperti sedang main kereta api.

Wanita itu mencuci bersih semua kotoran di wajahnya. Menatap wajahnya di kaca lalu merengut mengingat kembali saat dia terlihat jelek sekaligus kotor di hadapan Jailen tadi dan menggosok kembali wajahnya memastikan tidak ada kotoran tertinggal apa lagi ingus.

Life A Star | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang