Bab 2: Tak dianggap

74 33 5
                                    

"Hati tak akan terluka bila sang pawang yang menggoresnya"
°°°

Rasya duduk tenang sembari menatap keluar jendela bus. Pagi ini dia pergi beserta rombongannya ke hutan untuk acara Pramuka. Rasya tetap seperti biasa, duduk sendiri tanpa ada seseorang yang mengajaknya bicara. Disamping Rasya hanya terdapat tumpukan barang-barang PMR yang harus ia jaga.

Rasya melamun menatap lurus kesana. Nampaknya dia berfikir sangat keras. Ternyata, Rasya memikirkan alur novelnya. Bisa-bisanya dikeadaan seperti ini Rasya memikirkan novel. Tetapi, keadaan saat ini tak asing baginya, setiap hari sudah Rasya lalui. Walaupun, Rasya selalu meminta untuk pindah ke dunia yang membawa kebahagiaan dihidpnya.

Cittttttt..........

Gesekan keras antara ban dengan aspal yang mengakibatkan seluruh penumpang bis terhuyung dan ada yang sampai jatuh ke depan, tak terkecuali Rasya, dia malah sudah terjedot kursi didepannya.

Semua murid dalam bus medumel kesal pada sopir bus, karena hampir saja sopir itu membuat celaka satu bus. Rasya tak protes, dia hanya mengelus keningnya yang memerah.

Bus melaju kembali dengan kecepatan rendah, karena sang sopir tak mau ada kejadian seperti tadi terulang. Saat Rasya sudah merasakan bahwa mesin mulai bergerak, ia mengalihkan pandangan ke jendela.

Saat tak sengaja melihat dari kaca bus, Rasya membelalakkan mata dan menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Bus itu malah berhenti kembali, posisi Rasya bersampingan dengan motor sport hitam yang sudah hancur akibat kecelakaan.

"Pantesan tadi macet, ada kecelakaan ternyata," ucap Rasya pelan sembari melihat sang korban. Tetapi, ia tak bisa melihat wajah korban tersebut.
"Kasihan banget korbannya," sambung Rasya sendu.

Saat Rasya tak sengaja melihat tangan orang itu dia mengernyitkan kening. Seseorang yang mengalami kecelakaan adalah cowok dengan memakai gelang tali warna merah. Bagaimana Rasya mengetahui kalau seseorang yang kecelakaan adalah laki-laki? Karena, pada saat korban itu diangkat, Rasya tak sengaja melihat sekilas rambutnya.

"Kasian ya, duhhh ganteng banget padahal tuh cowok! Tapi, punggungnya lubang akibat terkena tusukan dari badan motor!" celotehan gadis didepan kursi Rasya.

Rasya kembali melihat kearah korban kecelakaan itu, rambutnya bergoyang terkena angin. Rasya tersenyum melihatnya, entah kenapa ia suka rambut cowok itu. Belum sampai Rasya melihat lebih, sopir bus menancapkan gas kembali dan pergi dari sana.

Rasya tak berpindah posisi, ia tetap melihat kearah jalanan yang dipenuhi pohon rindang. Bus yang mereka tumpangi sudah mulai memasuki area hutan. Bibir Rasya melengkung keatas membentuk seulas senyum melihat banyak dedaunan hijau yang menenangkan pikirannya.

Tangan Rasya mulai terulur untuk mengambil laptop dalam tas, dan mulai melanjutkan alur novelnya. Mood Rasya tiba-tiba mencuat saat melihat alam disekitar. Ide Rasya kini pada mode deras-derasnya, ia sudah tak sabar untuk menuangkan dalam bentuk tulisan.

Beberapa menit kemudian Rasya menutup laptopnya, ia sudah menulis tiga bab hanya dalam beberapa menit. Kakinya turun, menapaki tanah yang masih terbilang asli, belum terkontaminasi oleh kimia. Rasya menghirup udara segar dengan amat dalam.

Mata Rasya terpejam menikmati angin lembut menerpa wajahnya. Dalam gelap Rasya bisa melihat raut wajah Devan yang tersenyum manis, tetapi, tiba-tiba terlintas kilatan bahaya yang mengucurkan darah kental. Sontak dia membuka mata dengan nafas tersengal-sengal.

"Kenapa Feeling, Rasya berkata kalau bakal ada apa-apa dalam kegiatan ini?" gumam Rasya pelan menatap langit yang mulai tertutup oleh dedaunan.

Mata Rasya terlihat gelisah, dia bingung kenapa tadi melihat lintasan peristiwa yang tak ingin Rasya lihat. Ia masih dirundung keresahan, dengan santainya teman Rasya menyenggolnya sampai jatuh ke tanah.

"Jangan berdiri ditengah jalan dong!" ketus cewek berambut panjang.
Rasya mengatupkan bibirnya rapat-rapat, ia memilih untuk berdiri lalu membersihkan lututnya.

Rasya teringat kembali peristiwa itu, dia segera berlari dan mencari keberadaan Devan. Rasya khawatir akan terjadi apa-apa pada seseorang yang ia sukai.

Rasya berlari tanpa menghiraukan kalau dirinya sedang menggendong tas besar yang berisi keperluannya. Tubuh kecil Rasya sempoyongan tak bisa menahan keseimbangan. Tetapi, ia tetap berlari mencari keberadaan Devan.

Setelah Rasya berlari mencari, akhirnya ia menemukan Devan sedang duduk disana sendirian. Rasya menghampirinya dengan berlari kecil. Melihat Rasya berlari kearahnya, Devan mencoba melenggangkan kakinya.

Belum sampai ia pergi, Rasya mencekal pergelangan tangan Devan.
"Apaan sih!" Devan menghempaskan tangan Rasya kasar.

"Tunggu, Kak!"

"Rasya nggak akan ganggu, Kakak. Tapi, Rasya mohon dengerin perkataan, Rasya kali ini aja!"

Devan berhenti lalu menoleh kearah Rasya. Rasya tersenyum saat Devan mendengarkan ucapannya.

"Rasya cuma bilang, Kakak hati-hati! Perasaan Rasya nggak enak tentang hutan ini. Jadi, Kakak harus lebih hati-hati!" Rasya berbicara dengan memperlihatkan raut wajah cemas.
"Udah itu aja?" Devan malah membalas dengan tatapan malas.

"Buang-buang waktu, gue aja!" desis Devan pergi dari sana tanpa menghiraukan Rasya.

Meskipun Rasya berteriak sampai suaranya habis, Devan nggak akan menoleh kearah Rasya, melirik pun tak akan. Rasya hanya bisa menghembuskan nafas pasrah dan menatap kepergian Devan.

°°°

Keadaan langit sudah mulai petang, senja sedari tadi pergi perlahan ke ufuk barat. Banyak tenda-tenda dibawah pohon rindang yang sudah terpasang. Siswa-siswi berkeliaran diarea hutan, bersenandung melantunkan nada menenangkan pikiran.

Rasya? Dimana Rasya? Kini Rasya masih dalam tendanya. Dia mendirikan tenda sendiri dan ia tempati sendiri pula. Rasya masih tetap bergelut dengan pikirannya, apa yang tadi dia lihat dalam mata terpejam?

Rasya memilih keluar dari tenda, mulai ikut berbaur dengan anggota PMR lainnya. Mereka malah tak menganggap kalau Rasya itu ada, mereka pergi meninggalkan Rasya sendiri.

"Hmm salah, gue apaan sih!" tanya Rasya pelan pada dirinya sendiri.

Rasya mengedarkan pandangan, tak sengaja ia melihat Devan disana sedang memungut ranting pohon di sekitar tenda. Rasya tersenyum lebar dan berlari menghampiri Devan.

Tanpa izin, Rasya ikut mengambil ranting-ranting itu dan menyerahkannya kepada Devan. "Nih, Kak!"

Devan menatap malas pada ranting ditangan Rasya. "Bisa nggak sih, lo jauh-jauh dari, gue! Enek, gue tiap hari liat wajah, lo!"

"Kakak enek? Berarti, Kakak tiap hari amati wajah, Rasya dong?" bukannya sakit hati, Rasya malah jingkrak-jingkrak gembira.

"Dasar stres!" geram Devan pada Adik kelasnya yang satu ini.

Sejak Rasya mengetahui keberadaan Devan, ia terus membuntuti Devan kemana saja. Walau Devan selalu menghina Rasya, tetapi ia tak sakit hati sama sekali dan terus mengekor dibelakang Devan. Bukan hanya mengikuti Devan, Rasya juga berceloteh ria, dia tak peduli jika Devan tak mendengarkan. Seenggaknya, Rasya bisa berbicara dengan Devan, itu sudah membuat hatinya bahagia.

Milagro [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang