4

923 212 18
                                    

"Masuk!" ucap Dira saat mendengar suara ketukan pintu dari luar ruang kerjanya.

Salah seorang kasir easy coffee memasuki ruang kerja Dira dengan memasang wajah gelisah.

"Kenapa, Cit?" tanya Dira dari balik meja kerjanya. Bukannya menjawab, gadis bernama Citra itu malah memainkan tali apron berbahan kulit yang dipakainya dengan resah.

"Citra!"

"I...itu Mbak Dir, ada yang mau ketemu Mbak Dira di depan," kata Citra gugup. "Aku bingung bagaimana nolaknya, aku sudah bilang kalau Mbak Dira sibuk, tapi dia maksa, Mba."

Dira tersenyum seraya bangkit dari duduknya. Ia juga melirik jam dinding di sisi kanan ruangan, jarum pendeknya masih berada di angka jam empat sore. "Memang siapa yang mau ketemu, Cit? Aku nggak sibuk-sibuk banget kok, masih sempat kalau untuk terima tamu. Sales ya? Dari supplier apa?"

"Bukan tamu, bukan sales, bukan supplier bahan baku."

Dira merasa kasir cantiknya itu semakin tidak jelas saja. Ia kemudian berjalan keluar dari ruangannya diikuti oleh Citra. Sampai ia di area barista, barulah ia mengerti arti kegelisahan yang ditunjukkan Citra. Memang, hari sudah terlalu sore untuk kedatangan sales ataupun supplier.

Maura Marissa, selebgram ternama tengah berdiri dengan congkak menatap Dira dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Wanita yang tiga minggu lalu sukses membuat Dira menjadi bahan bully oleh warganet yang budiman. Entah apa yang diinginkan wanita ini, hingga kembali datang menemui Dira.

Dira menghampiri Maura tanpa gentar, lalu berjalan mencari meja kosong untuk mereka duduki. Dira tahu ia dan Maura kini menjadi perhatian semua pengunjung easy coffee, yang mungkin juga sudah menyiapkan kamera untuk merekam jika terjadi keributan seperti beberapa waktu lalu. Secara kebetulan, Dira memilih meja paling ujung tempat favorit Farid karena memang lebih privasi.

"Jujur saja, apa hubungan kamu dan Farid saat ini. Tenang, saya tidak akan marah atau menghakimi kamu seperti sebelumnya. Saya hanya ingin mengetahui kebenarannya saja," ujar Maura begitu mendaratkan bokongnya.

Dira berdecak, lalu menyugar poni rambutnya ke belakang. Ia tak habis pikir dengan Maura yang masih saja penasaran akan hubungannya dengan Farid.

"Melihat apa yang Farid lakukan setelah kejadian aku melabrak kamu. Aku pikir Farid memang memiliki perasaan pada kamu. Ya, mungkin dulu kalian tidak memiliki hubungan, tapi sekarang tentu ada kan? Kalian bahkan berada di satu atap yang sama dalam waktu semalaman."

"Maksud kamu?"

"Aku tahu kamu tinggal di rumah Farid, dan Farid menginap kemarin malam."

"Mungkin Farid mengira tidak ada yang tahu tentang rumah itu. Rumah yang Farid dan mantan calon istrinya dulu persiapkan. Mantan istri pertama Farid memang terlalu bodoh untuk mengetahui hal-hal seperti itu. Tapi, tidak dengan aku. Aku tahu segala hal tentang mantan suamiku itu."

Dira malah mencoba menghitung berapa kali Maura menyebutkan kata ' 'mantan'. Ia juga mulai memijat pelipisnya, pelan. "Kamu dan segala teori-teori yang kamu ciptakan, aku tidak bisa mencegahnya karena itu adalah hak kamu. Dan, yang mampu aku jelaskan adalah, aku memang menyewa rumah Farid, dan ia menginap kemarin malam. Hanya sebatas itu, sungguh tidak seperti apa yang kamu pikirkan Maura!" jawab Dira.

"Hei, santai saja! Tidak usah emosi," kata Maura tenang seraya menepuk-nepuk tangan Dira di atas meja.

Dira menarik tangannya, menyandarkan punggung pada sandaran kursi yang ia duduki. Tangannya ia lipat di atas dada, digigitnya pipi bagian dalamnya menahan kesal. Mantan istri Farid ini benar-benar keterlaluan. "Kalau begitu berhenti menuduhku macam-macam Maura!" kata Dira lagi.

My Dear Loser ✔ (TERBIT CETAK & EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang