7

841 191 13
                                    

Dira mengira, niat Rifki untuk mengekspansi usaha kedai kopi miliknya hanyalah wacana belaka. Namun, kemarin Rifki kembali menyampaikan niat itu padanya. Sebagai pegawai Easy Coffee Dira mendukung penuh niat Rifki itu.

Masalahnya di sini adalah, Rifki bukannya menyewa konsultan bisnis, tapi malah meminta Dira yang menyiapkan segala sesuatunya. Termasuk dengan keputusan apakah akan menyewa ruko di sebelah untuk memperluas kedai kopi mereka atau membuka satu cabang baru untuk memperluas pasar, yang pastinya memerlukan biaya setara seperti saat awal Rifki membuka usaha kedai kopinya yang pertama.

Dira bahkan sudah membayangkan suatu hari Easy Coffee akan meraih kesuksesan dengan memiliki jaringan kopi waralaba multinasional. Pertimbangan yang matang sangat dibutuhkan demi keberhasilan ekspansi usaha Rifki kali ini. Sejauh ini Dira sudah mengumpulkan poin-poin penting dalam persiapan pembukaan cabang. Seperti kesiapan modal, survei lokasi, inovasi produk, mengamati tren yang berkembang di pasar sekaligus mencari peluang baru yang tidak dimiliki kompetitor, demi mencapai target sasaran pasar yang baru di cabang yang baru.

Lokasi strategis, tempat yang nyaman, kualitas rasa produk yang baik, hingga pelayanan yang memuaskan, merupakan bentuk implementasi dari strategi bisnis Easy Coffee sendiri. Menurut Dira, sekarang waktunya ia melirik bagaimana strategi bisnis kompetitor, membandingkannya dan mencari celah untuknya membuat inovasi untuk Easy Coffee.

Yang dilakukan Dira sekarang memang hanya berjalan-jalan keliling seating area Easy Coffee. Kedua tangannya terselip dalam saku depan apron yang dipakainya, berjalan menuju area outdoor sebelah kanan. Dira seperti sedang melamun dengan tatapan kosong, padahal isi kepalanya penuh bukan main.

Dira merasakan ponselnya bergetar dari dalam saku apronnya. Dibacanya satu pesan masuk dari Rifki yang memintanya untuk datang ke office. Dira beranjak dari tempat ia berdiri, berjalan masuk ke dalam office masih dengan memakai apronnya.

"Lho, Farid? Lo di sini?" Dira sedikit terkejut saat membuka pintu office Easy Coffee.

"Ya. Kenapa Dir? Lo nyariin gue ya di depan?"

Dira siap membalas Farid, tapi ponsel Farid berbunyi dan Farid pun menjawabnya. Dira menelan kembali kalimat balasan yang sudah ada di ujung tenggorokan. Dia heran bisa-bisanya Farid kelewat percaya diri begitu. Untuk apa juga dia mencari Farid.

Dira dan Farid kompak menoleh ke arah pintu yang terbuka. Rifki masuk dan menyapa keduanya. Ia berjalan ke mejanya mengambil beberapa dokumen, lalu bergabung bersama Farid, duduk di sofa yang berada di salah satu sudut ruangan.

"Ayo, Dir! Kita bisa mulai sekarang," ajak Rifki.

Ruang kantor Easy Coffee itu memang hanya terdiri dari dua meja kerja milik Rifki dan Dira, dilengkapi sofa dan nakas yang biasa mereka gunakan untuk menerima tamu. Tidak ada meja khusus untuk meeting. Dira menghampiri Rifki dengan ragu, lalu melirik Farid yang masih asik dengan laptop dipangkuan pria itu.

"Kenapa Dir, lihatin laptop gue? Mau dipangku juga?"

Dira meringis, semakin ke sini ia menyadari kalau Farid memiliki sifat narsis. Ia memilih duduk di dekat Rifki, padahal sofa yang diduduki Farid masih menyisakan bagian yang luas.

"Rif... itu dia nggak lo suruh cabut?" Dira berbisik di telinga Rifki. Gerakan kepalanya menunjuk ke arah Farid.

"Dia ikut kita meeting, Dir," jawab Rifki.

Dira baru akan kembali protes. Tapi, Rifki sudah mengucap salam, membuka meeting mereka itu. Diliriknya juga Farid yang kini menegakkan tubuh, masih sambil memangku laptopnya.

"Jadi, seperti tujuan Rifki yang akan melakukan ekspansi usaha kedai kopinya ini, membuat saya tertarik untuk ikut terlibat dalam kemajuan Easy Coffee, dengan ikut menanamkan modal."

My Dear Loser ✔ (TERBIT CETAK & EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang