18

709 159 23
                                    

"Gue 'kan lagi sakit, Rif! Lo sih, tega malah nyuruh gue pergi ikut Farid."

"Kaki lo sakit juga?" tanya Rifki.

"Ya tangan doang, sih!" jawab Dira seraya memandangi tangannya yang masih terbebat perban.

"Ya udah, masih bisa jalan kan?"

"Rifki!" Dira merajuk.

"Satu, lo cuma sakit di tangan, selebihnya lo sehat dan bisa jalan. Lagipula kalaupun lo di sini, keadaan tangan lo nggak akan banyak membantu pekerjaan, jadi gua menyarankan lo bantu Farid aja. Ke dua, gua tau Dir pikiran lo lagi nggak di sini. Ya, dimananya entah gua gak tau. Tapi daripada memaksakan kerja dengan tangan dan pikiran yang nggak sinkron, mending lo jalan-jalan sana sama Farid."

"Jalan-jalan apaan, cuma survei lokasi yang cuma beda kecamatan!" Dira bersungut-sungut sambil meraih tasnya di atas meja.

"Kalau lo request ke ancol atau dufan juga, Farid pasti mau!"

Otot leher Dira bergerak cepat menengok ke arah Rifki, diiringi tatapan tajam yang menghunus. Rifki hanya tersenyum lebar lalu pergi dari sana.

***

Dira diam seribu bahasa sejak menyatakan setuju untuk ikut Farid survei lokasi. Farid juga tampak sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Buktinya begitu memasuki mobil Farid, pria itu belum berhenti menerima telepon. Dira yang sedang malas protes, dengan pasrah menerima nasib.

Perang Rusia dan Ukraina, minyak bumi, gas dunia, hingga stabilitas ekonomi dunia dan Indonesia, terucap dari bibir Farid saat berbicara di ponselnya. Dira menyimak sejak awal, ia pun menarik kesimpulan kalau Farid sedang membicarakan kenaikan harga produk gas yang dijualnya kepada konsumennya.

"Gua kira lo tidur," ujar Farid begitu mematikan ponselnya.

Dira hanya berdecak sebal.

"Gua tau lo ngantuk," kata Farid lagi setelah menyalakan mesin mobilnya. "Tidur aja, nanti kalau sudah sampai gua bangunin."

Dira berdecak lagi.

"Mata lo kelihatan sayu banget, Dira. Lo butuh tidur, tuh!"

Dira mengangkat layar ponselnya ke depan wajahnya. Padahal dia sudah memberi banyak concelaer pada sekitarnya matanya. Riasan matanya juga sedikit lebih tebal demi menutupi sembab pada wajahnya. Menangis semalaman menjadi penyebab ia kekurangan tidur. Seperti apa yang Farid tuduhkan, kenyataannya Dira memang dilanda kantuk yang luar biasa. Namun, kali ini gengsi Dira lebih kuat daripada kantuknya.

"Kita udah lewati jalan ini dua kali lho, Rid!" Dira melihat ke sekelilingnya, memastikan.

"Serius?" balas Farid.

"Iya!"

"Masa nyasar, sih?"

"Ya, lo gimana!"

Farid menepikan mobilnya, kembali melihat ke sekelilingnya mencoba menelaah jalan mana yang semestinya ia lewati.

"Pakai maps aja deh, Rid. Patokannya apa, lo ingat kan? Atau nama jalannya." Dira memberikan ponselnya pada Farid.

Farid mengangguk setuju kemudian menerima ponsel milik Dira. Setelah mengetikkan nama jalan yang menjadi tujuan meraka di kolom pencarian, ia mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya. "Lo emang bisa baca maps?" tanya Farid iseng.

"Baca pikiran lo juga gue bisa!" balas Dira.

"Kalau gitu, apa yang ada di pikiran gua sekarang?" tantang Farid.

"Gue, lo lagi mikirin gue kan?" jawab Dira percaya diri.

Farid terkesiap. Ia memang tengah memikirkan Dira. Lebih tepatnya mencemaskan keadaan Dira yang tampak kusut. Farid menebak Dira sedang memiliki masalah. Farid ingin sekali bertanya, tapi ia segan, padahal ia ingin sekali membantu Dira, apapun masalah yang sedang menimpanya.

My Dear Loser ✔ (TERBIT CETAK & EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang