5

954 197 9
                                    

"Dir--ra!"

Suara Farid melemah di ujung penggalan nama Dira. Ia mundur satu langkah, seraya menurunkan tangannya yang sudah melayang di udara. Tadinya ia ingin mencegah Dira pergi. Tapi, beruntungnya ia cepat sadar dan membiarkan Dira menaiki ojek online pesanannya, pergi dari sana.

Farid menoleh ke sekitarnya sebelum ia berjalan memasuki easy coffee. Memastikan tidak ada yang menonton adegan FTV di mana sepasang kekasih bertengkar di pinggir jalan, lalu si perempuan pergi meninggalkan kekasihnya menaiki ojek. Farid merutuki diri mengapa ia begitu drama tadi, malah ia juga hampir mengejar Dira yang pergi.

Dua kali menikah, dua kali gagal dalam umur pernikahan yang singkat. Lo kalah atas komitmen yang lo buat sendiri. Ya, mungkin itu urusan lo untuk main-main dengan pernikahan lo sendiri.

"Sialan!" Farid mengumpat pelan.

Ia tidak tahu bagaimana Dira bisa memiliki penilaian seperti itu terhadap dirinya. Tahu apa Dira tentang hidupnya sampai menghakimi pernikahannya yang sudah gagal dua kali. Farid juga heran mengapa wanita senang menciptakan teori sendiri dan dengan percaya diri meyakini teori buatannya itu.

Tidak Maura, tidak Dira, sama saja. Tadi sore Maura sengaja menelponnya hanya untuk mengadu kalau Dira menyebut dirinya loser. Masih belum mengerti apa tujuan Maura mengadu tentang hal itu, Farid yang memang sedang dalam perjalanan ke easy coffee itu, tentu tidak sabar untuk mendengar penjelasan Dira hingga timbul drama pinggir jalan tadi.

"Malam, Pak Farid!" sapa seorang waitress cantik di depan easy coffee.

"Malam, Sinta!" Balas Farid, ramah. "Biasa, ya, Sin!" Lanjut Farid memesan.

Ia berjalan menuju tempat duduknya yang biasa. Langsung menyalakan rokok setelah mendaratkan bokongnya, Farid menyandarkan punggungnya pada kursi.

"Muka lo, Rid. Kenapa? Gak tembus?"

Farid menyunggingkan senyum, mendengar pertanyaan Rifki. Memang, selain Raline, hanya pekerjaan yang membuatnya stres hingga menekuk wajah. Kali ini bukan karena pekerjaan, bukan juga karena Raline, tapi karena wanita lain.

"Bukan," jawab Farid sambil menyentuhkan ujung puntung rokoknya ke asbak. Lalu kembali menghisapnya setelah abu di rokoknya terlepas.

"Rif, di mata lo, gue ini kayak apa sih?"

"Di mata gue, lo ganteng, Rid!"

"Kalau itu sih, udah banyak yang bilang!

Rifki mengumpat tanpa suara. Jokes-nya tidak berhasil, ia lupa sahabatnya ini memang memiliki kadar kepercayaan diri yang begitu tinggi.

"Soal gue yang bercerai sampai dua kali, Rif. Apa orang-orang menilai gua seburuk itu, karena gua gagal dua kali dalam pernikahan gua?"

"Orang-orang? Siapa? Mereka bilang lo apa?"

"Gua dianggap pecundang, karena gua dua kali gagal dalam pernikahan gua, Rif. Apa benar gua sehina itu?"

"Karena gua juga sedang menghadapi perceraian dengan istri gua, gua bisa bilang kalau perceraian tidak selalu buruk. Ya, buruk buat gua, tapi nggak buat istri gua. Mungkin setelah ini dia lebih bahagia setelah nggak sama gua."

Farid mengangguk. "Tapi, faktanya banyak yang menyalahkan pihak laki-laki jika terjadi perceraian."

"Jadi kasus lo sama Jani dan Maura, itu salah mereka, begitu?"

"Tetap salah gue, Rif," jawab Farid pelan.

"Ya sama kayak lo, perselisihan yang timbul nggak kunjung menemukan penyelesaian. Gua merasa mereka berhak bahagia, tanpa harus hidup bersama gua."

My Dear Loser ✔ (TERBIT CETAK & EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang