11

2K 375 98
                                    

"Kamu gak bisa paksa aku gini, Viny!! Aku bilang berenti!!" Mata Shani terbelalak lebar ketika Viny melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Beberapa kali tubuhnya terhentak karena tingginya kecepatan itu, Viny juga membantingkan stirnya ke segala arah, menciptakan kerusuhan di jalan raya, tak sedikit kendaraan yang menekan klakson sebagai bentuk protes.

Viny tidak peduli dengan semua teriakan orang-orang yang dilontarkan kepadanya, ia tetap fokus ke depan, ia bahkan berani menerobos lampu merah. Tatapan Viny tampak begitu tajam, jauh lebih tajam dari sebuah pedang yang baru saja diasah, mengkilat dan sangat menyeramkan. Viny menepis kasar tangan Shani yang mencengkeram tangannya lalu menatapnya. "Semakin kamu berontak, mobil ini akan semakin cepat."

Shani hendak menjawab, tetapi ia urungkan karena ia khawatir emosi Viny mencelakakan orang lain. Shani akhirnya memilih untuk diam dan menunduk, ia berusaha meruntuhkan egonya karena ia tau orang yang sekarang berada di sampingnya sangat nekat. Viny akan melakukan apapun demi egonya terpenuhi. Shani menghela nafas kasar, kenapa ia bisa mencintai gadis sekeras itu?

Viny menurunkan kecepatannya perlahan karena menyadari Shani sudah tidak berontak lagi. Viny membawa mobil itu ke sudut kota, ia tidak mungkin membicarakan semuanya di mobil karena ia khawatir emosinya tidak terkendali lagi dan mungkin saja ia bisa mencelakai dirinya sendiri.

Setelah menempuh perjalanan satu jam, mobil Viny berhenti di sebuah danau. Viny melepaskan sabuk pengamannya lalu turun dari mobil tanpa mengucapkan apapun, ia tidak lupa melepaskan kuncinya karena ia khawatir Shani akan kabur. Di sini tidak ada siapapun, kendaraanpun jauh, Shani tidak akan bisa meninggalkannya apalagi hanya bermodalkan kedua kakinya saja.

Sudah sepuluh menit Shani berdiam diri di mobil, memandangi punggung Viny yang sedang duduk di pinggir danau, ia bisa melihat gerakan tangan Viny yang sepertinya sedang menghapus air mata. Shani memahami sebesar apa rasa sakit Viny, tidak ada yang lebih menyakitkan selain pengkhianatan yang dilakukan oleh orang terdekat. Namun, Shani tidak punya jalan lain untuk menghentikan Viny apalagi saat ia melihat berita soal penembakan kemarin. Entah sebesar apa dendam yang Viny simpan hingga Viny berani menciptakan kehancuran sebesar ini.

Shani turun dari mobil karena masalah ini tidak akan selesai jika ia hanya berdiam diri. Shani melangkah mendekati Viny dan duduk di sampingnya. Benar saja, Viny tengah menyeka air matanya. Ternyata gadis itu menangis sedari tadi. Andai saja keadaannya berbeda, mungkin ia sudah mendekap tubuh Viny dan menghapus air matanya.

"Kenapa kamu tega khianatin pacar kamu sendiri dengan gabung sama mereka?" tanya Viny tanpa menatap Shani. Viny menopangkan kedua tangannya di sudut kayu. Ia sibuk mengatur nafas dan berusaha menahan emosi agar tidak membludak untuk kedua kalinya.

"Aku udah bilang, aku bukan anak buah kamu, aku gak ada di bawah kendali kamu," jawab Shani sangat tegas. Shani tidak akan lupa bagaimana besarnya keangkuhan Viny kemarin saat memerintahkannya.

"Apa untuk menunjukan kamu sangat kuat dan bisa berdiri sendiri, kamu khianatin aku?" Viny masih tidak menatap Shani. Viny takut air matanya kembali menetes jika ia melihat wajah Shani.

"Aku cuma pengen kamu berhenti, bebasin orang-orang yang gak bersalah. Kalo dendam kamu hanya sama Kinal dan Lidya, jangan libatkan orang lain." Shani mengusap wajahnya frustrasi. Entah kalimat apa lagi yang harus ia lontarkan agar Viny mengerti. "Veranda gak bersalah."

"Siapa bilang kak Ve gak bersalah?" Viny tersenyum miring lalu menggelengkan kepala. Seharusnya Shani diam dari pada terus berbicara di luar pengetahuannya.

"Dia bukan bagian dari perusahaan itu." Shani menarik dagu Viny agar menatap kepadanya. "Hentikan segala dendam kamu. Dendam ini hanya akan membakar kita semua."

FADING AWAY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang