Peria Asing

6 4 0
                                    

Budayakan vote sebelum baca~
Follow akun author juga Wuwulana

JANGAN LUPA COMMENT AND SHARE

Happy Reading
.

.

.


"Sakira!"

"Ishhh," desisku dengan mata tertutup seraya memeringkukan diri bersama selimut--merubah posisi nyaman untuk melanjutkan hobiku dulu saat di Thailand.

"Astoge, Sa!" sembur innez sambil mengoyak lengan mungilku.

"Hmm, Loe ganggu salah satu hobi gue yang hampir punah di kamus kebesaran Sakira Almeera Tupea," dengusku merapatkan diri mencari kenyamanan untuk melanjutkan tidur.

"Iya, dah. Semerdeka loe aja, tapi jangan nyalahin gue kalau loe dipecat," ujarnya keluar dari zona nyamanku.

"Xari!" Aku sedikit terkesiap, lantas menatap benda yang melingkar di tangan.

"Aduh, udah jam tujuh! Kok nggak bangunin gue sih, Nez?" cercaku seraya bergegas mempersiapkan diri.

"Lah, serah loe aja. Berasa ngomog ama setan, ihhh jijik," gerutunya sambil memutar bola mata dengan malas.

"Gue duluan, Nez." Aku sedikit berlari menuju jendela dan loncat ke luar dengan tergesa.

"Sakira! Kebiasaan, deh. Jijik." Innez geleng-geleng kepala miris.

"Urgen!"  teriakku sambil berlari disertai kekehan kecil di ujungnya.

"Huftt, dasar! Berasa nyimpen maling dah gue," desis Innez pada dirinya sendiri.

Aku berjalan sambil lari kecil menuju tempat kerjaku, aku sudah beberapakali telat masuk, semoga saja kali ini aku bisa aman lagi. Saat melintasi gedung-gedung pencakar langit, netraku tak sengaja menangkap manik mata seseorang di depan sana, begitu juga sebaliknya.

Sorot mata laki-laki itu begitu tajam dan penuh arti, sungguh sulit ditafsirkan. Padahal aku tidak pernah bertemu dengannya bahkan tidak tahu siapa dia, tapi jika dilihat gaya penampilannya yang bermerek--pengalaman pribadiku karena memiliki keluarga yang mengerti fashion--aku berasumsi dia tergolong anak konglomerat.

Seperti reaksiku yang terpesona melihatnya, laki-laki itu juga menunjukkan reaksi yang sama. Pupil matanya berubah gelap dan bibirnya menyeringai saat aku berjalan melewatinya.

Aku dan dia saling menatap hingga kepala kami menoleh kebelakang setalah berpapasan. Waktu seakan berhenti saat itu. Orang-orang yang berjalan di samping seolah pudar, menunjukkan betapa intens-nya kami beradu pandang.

Beberapa detik setelahnya, aku memutuskan kontak mata terhadap laki-laki asing itu dan bergegas memasuki minimarket. Pikiranku sekarang mulai berkelana kembali, ada sesuatu yang ganjil.

Aku seperti mengingat sesuatu, tapi apa? Sesuatu telah terlupakan. Kadang memang seperti itu, ada hal menarik saat kita merasa ingat sesuatu, tapi tidak tahu apa yang terlupa.

"Kira!"

"E-eh, mbak Dira," gagapku sambil menampakkan cengiran.

"Coba lihat, kamu telat berapa menit, hah!" tegasnya.

Aku melirik benda yang melingkar di pergelangan tanganku, lantas tersenyum malu bercampur cengiran ala kuda. "Seratus dua puluh menit, Mbak."

"Kamu gimna, sih? Telat Mulu. Belajar disiplin, dong?" tutur mbak Dira.

SOBEKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang