Ratunya minimarket

3 2 0
                                    

"Aku kayaknya nggak bisa ikutan deh, Kak." Aku mulai memberanikan diri untuk angkat bicara.

"Eh, kenapa?" tanya Kak Jo, Kak Fajri, dan Nicole bersamaan, lantas ketiga cowok itu saling bertatapan.

Nasya mendengus kesal menatap ketiga cowok disebelahnya, kemudian beralih menatapku sekilas dengan tatapan tak suka.

"Emang kenapa, Sa?" Melihat ekspresiku yang menjadi canggung Aulya menanyakan kembali pertanyaan yang telah terlontar di lingkar rapat itu.

"Hmm, soalnya ... kalian 'kan tau sendiri, aku ini kuliah sambil kerja. Jadi aku tidak mungkin meninggalkan kerjaanku begitu saja. Aku sangat membutuhkan itu," jawabku jujur. Walaupun sebenarnya aku ingin merasakan bagaimana rasanya mendaki. Pasti seru, tapi mengingat pekerjaanku lebih penting apa boleh buat.

Aku tidak mungkin bermalas-malasan dan hidup bersama belas kasihan dari orang lain.

"Wah, sayang sekali. Padahal seru loh, Sa," ujar Fee dengan tampang memelasnya.

"Ikutan lah, Sa. Soal kerjaan mah izin cuti sehari aja." Zee berusaha memberikan usul yang terbaik.

"Umm, gimana ya? Maaf deh, kalau untuk sekarang belum bisa ikutan," ucapku seraya mengulum senyum.

"Iya nggak apa apa, Sa. Dimaklumi, kok." Kak Jo menerbitkan senyum yang akhirnya menunjukkan cekungan di kedua pipinya.

"Berarti yang lainnya pasti ikutan ya?" tanya Nasya pada anggota rapat dengan sumringah, wajah terhiasi senyum yang merekah.

🍁

'Bukh!'

Aku menjatuhkan tubuhku ke atas ranjang untuk melepas penat meski hanya sebentar, setidaknya menjadi obat sesaat untuk tubuhku yang berasa remuk redam. Menghembuskan napas panjang, memejamkan mata merasakan letih yang menyeruak menjalari seluruh tubuh.

"Sa, gue berangkat kuliah dulu ya? Nanti jangan lupa kalau mau berangkat kerja pintunya kunci terus kuncinya taruh di tempat biasa." Inez bergegas beringsut mengambil tasnya seraya melenggang menjauhiku.

"Bentar lagi gue juga langsung  berangkat kerja kok, Nez. Tinggal ganti seragam kerja," ucapku sembari bangkit dari kasur, mengambil seragam kerjaku yang aku gantung di depan pintu lemari.

"What! Loe nggak mandi dulu? Bukannya tadi loe belum mandi ya?" Inez berkata sambil membelalakkan matanya.

"Bomat, ahhh!" teriakku.

"Ihhh ... sumpah jijik." Inez tak lagi menghiraukan aku yang sedang berganti seragam, dia memilih untuk segera berangkat.

Aku melihat pantulan diri di cermin rias, lingkar hitam di mataku jelas sekali bertahta di sana membuatku jengah.

Ah, kadang aku iri jika melihat wajah temen-temen kuliah yang jauh dari masalah kulit wajah. Aku bisa apa? Perawatan? Hidup aja numpang. Jadi, cukup tahu diri.

Kadang aku merasa hidup ini tidak adil, aku teringat masa-masa bersama dengan keluarga yang utuh dengan harta berlimpah. Andai aku masih mendekap semua itu, aku tidak akan seperti ini.

Andai aku masih tinggal di Thailand, aku tidak akan terlantar seperti ini. Andai paman Dern mengerti rasaku dulu. Ah, dia pasti sudah bahagia dengan wanita pilihannya.

"Sakira, apa yang terjadi dengan wajahmu?"

Suara berat itu, mampu menyadarkanku dari lamunan.

"E-eh, Lung?" Sambil merentangkan tangan dan menunggu sambutan pelukan hangat.

"Thami?" Seraya memeluk hangat tubuh mungilku lalu mengusap bekas luka di wajahku.

SOBEKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang