Bukan Cinderella

16 5 0
                                    


"Hufttt," desahku menghembuskan napas kasar akibat letih yang aku emban setelah melepas kepergian Paman Dern.

Aku menghempaskan tubuh asal di atas ranjang. Sejurus kemudian, ada yang membuat tak nyaman. Sesuatu mengganjal di balik selimut tebal tepat di bawahku. Aku terbangun malas untuk sekedar mengecek apa yang ada di bawah sana.

"E-ehh."

Aku terlonjak kaget, sedikit loncat ala undur-undur saat melihat pergerakan dari seprai tebal itu, sebuah tangan menjulur keluar dari balik selimut yang bergelembung.

"Emmm...."

Terdengar suara eluhan di balik sana. Beberapa detik kemudian, wajah manusia itu menyumbul ke permukaan. Seorang laki-laki yang umurnya mungkin sekitar 17 tahun-an, taksirku asal, tapi memang kenyataannya benar.

Aku termasuk manusia yang jeli dalam hal mentaksir, atau mungkin lebih tepatnya itu hanya sebuah kebetulan.

Well, ehh Will. Itu dia, nama manusia yang sekarang ada di depanku. Aku masih ingat sekali dengan wajahnya yang menatapku dengan mode songong on sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini.

Aku meneguk saliva paksa, tatkala sepasang mata asing menatapku tajam dengan penuh seringai disertai senyum miring.

Oh good! Lihatlah mata merah menyala yang kering nan nampak lengket itu, pertanda bahwa bocah ini sering minum alkohol diumurnya yang tergolong masih remaja.

"Apa Loe lihat-lihat, hah!" Sambil mendelik ke arahku.

What! Xari! Bukankah dia yang sedari tadi mengintaiku, batinku kesal.

"Hmm... bukankah ini kamar bagianku?" tanyaku berusaha serileks mungkin meski sebenarnya tubuhku gemetaran.

Ia menatapku kembali dari ujung kaki sampai pucuk kepala-tak ada yang terlewati. Saat kedua matanya tertuju pada manik mataku, aku hanya tersenyum kecut.

"Silahkan saja kalau mau tidur di sini, itu pun kalo loe mau berbagi tidur dengan gue," ucapnya datar sembari membungkus tubuhnya kembali dengan selimut tebal yang seakan ikut menertawaiku atas kalimat yang dilontaran dari mulut sepupu laknat itu.

"Ishhh," decihku seraya keluar dari kamar dan tak sengaja menggebrak pintu saat menutupnya dari luar.

'Brak!'

"Woiii! Santai dong ...."
Suara teriakkan itu terdengar sangat frustasi dari balik papan berbahan kayu jati itu.

Seperdetik setelahnya, suara guling yang melayang dan menghantam gagang pintu.

Cepat-cepat aku beranjak dari kandang buaya itu, sebelum tubuh mungil ini diterkam habis olehnya. Aku sedikit berlari kecil menuju ruang tengah, dimana ada bibi Chae yang sedang asyik dengan tontonnya.

Aku melambatkan langkahku, tatkala bibi Chae melempar pandang ke arahku dengan mimik tak suka. Oke, lagi-lagi itu cuma perasaanku saja. Bisa jadi, memang gitu cetakan asli dari sono-nya. Aku menghela napas panjang.

"Ada apa?" tanyanya acuh.

"Hmm ... itu Pa Chae, aku bingung harus tidur dimana lagi. Sedangkan Will sepertinya menggunakan kamar tamu juga dan tidak ingin berbagi tempat untukku," aduku sedikit kikuk.

"Hmm ... kau tidur di atas saja," ujarnya sambil menunjuk tangga kecil yang berada di sudut ruangan.

"Khop kun ka," balasku sembari menghampiri satu persatu anak tangga.

Dua kata untuk tangga ini, kecil dan berdebu. Tidak tahukah kalau aku ini alergi dengan debu. Haicihhh!

Berkali-kali aku harus menikmati bersinku ini, yang sebenarnya sangat mengganggu dan menyiksa. Setelah sampai diujung atas tangga, kuputar kenop pintu dengan slow motion.

Mau tahu kenapa? Karena perasaanku tidak enak dengan tempat kumuh itu, yang lebih tepatnya cocok dinamai dengan kandang tikus--menjijikkan.

Melihat kondisi pintu itu penuh bercak dimakan rayap, aku menyentakannya tidak terlalu keras karena takut jikalau keterlaluan, nanti pintu itu roboh.

Saat pintu sudah terbuka lebar, aku sedikit terpaku menatap isi dalam ruangan itu. Ini loteng, bukan sebuah kamar.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

👠👠👠

Jangan lupa tinggalkan jejak 😊😘

Sangat menerima kritik dan sarannya kalen, gengs...

Thanks for reading

SOBEKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang