Lembaran Lama

29 8 2
                                    


"Loe nggak ngerti, Nic. Ini jalan yang terbaik buat loe, meski enggak buat gue," lirihku.

Tak terasa bulir liquid merekah, membasahi pipi tirusku. Aku cepat-cepat menyeka butir bening itu dengan kasar. Sepertinya aku kurusan sekarang. Lihatlah apa yang menarik dariku. Lingkar hitam mengelilingi mata, bibir pucat, dan wajah tanpa polesan. Ah, aku tidak pernah berpikir tentang penampilan. Bisa makan untuk hari ini saja, aku sudah senang.

📃📃📃


"Ma'e ...," isakku dalam posisi mendekap pinggang ibu yang berbaring tak berdaya di ranjang.

"Li-little my princess kok nangis?" Suaranya terdengar lemah dan bergetar.

"Jangan tinggalkan aku, aku tidak bisa hidup tanpamu, Ma'e." jari-jari kecilku melekat di antara sela jari ibuku yang kini terkulai lemah. Pupil mataku membesar dan bergetar disertai genangan air di sekitarnya.

Ibu melepaskan tautan tanganku, kemudian mengusap lembut rambut kepalaku yang bergelombang agak kecoklatan. Dia menuntun kepalaku tuk mendekat, lantas dikecupnya bagian puncak kepala.

"Kamu anak yang berani, jangan pernah menangis. Kekuatan hidup ada pada jiwa kita yang terkobar oleh semangat. Beranilah dan jangan lupa untuk selalu berbuat kebaikan." Tangan keriput miliknya menyeka tiap bulir yang menetes dari sudut mataku.

"Sudah jangan menangis lagi, nanti cantiknya luntur," imbuhnya dengan suara sumbang disertai senyuman yang tertahan.

"Ta-tapi ... aku tidak punya siapa-siapa lagi selain dirimu." Lagi-lagi bulir bening itu menerobos dinding pertahananku hingga jatuh satu persatu tiada ampun.

"Kamu masih mempunyai jati diri dan cita-citamu, sayang." Ibu tersenyum samar.

Aku menggeleng pelan. "Jangan tinggalkan aku, Ma'e...."

"Jika ma'e nanti menyusul phx-mu di surga. Kamu harus tetap berjuang, ma'e selalu bersamamu."--Ibu meraih tanganku, menggenggam kuat tiap jemariku--"Gunakan jari-jari ini untuk kebaikan. Jangan pernah putus asa, my princess."

Aku hanya mengangguk pelan, kemudian mengucek mataku yang perih.

"Sebenarnya ... ka-kamu masih punya sanak sa-saudara di Jakarta." Ibu menjeda kalimatnya untuk mengambil napas.

"Pergilah ke sana, rumah yang ditempati mereka itu, dulu hasil dari kerja keras ma'e sebelum menikah dengan phx-mu," lanjutnya disertai senyum tipis.
Napas ibuku mulai tak terkontrol, aku sesenggukan luar biasa melihat ibu dalam kepayahan seperti itu.

"Tuan Dern, aku percayakan sepenuhnya padamu," imbuh ibuku sambil menatap laki-laki dengan setelan jas berwarna hitam yang berdiri di tengah bingkai pintu.

"Aku tidak akan pernah mengecewakanmu, Nyonya Tupea, " ujar laki-laki itu sambil membungkukkan badan.

Napas terakhir ibu berada dalam dekapan, aku tak menyangka akan menjalani hidup ini sendirian, ditemani udara yang tak lelah memberi pasokan oksigen pada setiap yang bernapas. Aku memasang senyum kecut. Menatap angkuh gumpalan awan yang seakan sedang mengejekku. Aku sedikit malas menyandarkan tubuh di kesunyian antara para penumpang pesawat. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, diantaranya membaca majalah atau sekedar rehat memejamkan mata, seperti yang dilakukan Paman Dern yang duduk di sebelahku saat ini.

"Kau kenapa?" tanya Paman Dern dengan mata yang masih terpejam.

Instingnya begitu kuat sekali, meski matanya terpejam dia mampu merasakan kehidupan di sekitarnya. Hebat bukan? Paman Dern bisa dibilang duplikat ayahku dalam soal kepekaan, aku mengidamkan pria sepertinya.

SOBEKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang