Kehidupan Baru

14 5 1
                                    

Happy reading, gengs...
Jangan lupa tinggalkan jejak ✍️😉
.
.
.
.
.
.
.
.
Nungguin, yak?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Maap author suka main tik tok jadi kek gini 😂
.
.
.
.
.
.
.
.

Saat pintu sudah terbuka lebar, aku sedikit terpaku menatap isi dalam ruangan itu. Ini loteng bukan sebuah kamar.

✍️✍️✍️


"Pa Chae, bukankah ini loteng?" tanyaku agak sedikit teriak dari ujung anak tangga paling atas dan sedikit merunduk agar melihat bibi Chae yang masih pada posisi semula.

"Hmm...lantas apa masalahnya," jawabnya dengan sinis.

"Oke, mai pen rai ka. Aku masih bisa membersihkannya," lirihku sembari memasuki loteng kembali, menatap jengah ruangan itu.

"Humm...butuh berapa lama aku membersihkan semua ini? Sebulan, tiga bulan, enam bulan, atau ya ... satu tahun. Kalau aku tidak cepat membereskannya." Aku mulai bermonolog sendiri seraya bergegas menyapa ruang terasing itu.

Aku bahkan tidak tau, harus memulai darimana membereskan semua ini. Mungkin menyeterilkan debu-debu yang berserakan terlebih dahulu, karena gumpalan-gumpalannya sangat menyiksa hidungku. Haicihhh!

Sesekali aku mengoprak-aprik barang-barang serupa sampah di sudut ruangan agar tidak mengganggu penampakan kamarku nantinya.

Hufttt!

Setelah beres, aku mengelap jendela penghubung luar rumah agar lebih nyaman. Jendela ini, setidaknya cukup membantu udara bersih untuk masuk ke kandangku agar tidak pengap.

Kini rasa letih sudah menjalar ke tiap saraf-saraf juga persendian, kurenggangkan otot-ototku yang terkilir sambil memukul lirih di bagian yang encok. Lumrah 'kan jika aku merasakan pegal yang luar biasa? Karena sebelumnya aku tidak pernah mengerjakan aktivitas berat seperti ini.

Aku jadi teringat ma'e, dia tidak akan pernah membiarkanku melakukan pekerjaan apa pun yang akan menghasilkan peluh menghias wajah.

"My little princess, jangan main yang berat-berat."
Wanita paruh baya bak bidadari itu, tergopoh-gopoh menghampiriku yang tengah asik bermain di bawah terik matahari.

"Mana ada main berat, ma'e? Yang berat itu rindu. Kata kak Dilan," tampikku sambil menekankan kata 'rindu' dan 'kak Dilan' disertai kekehan kecil di ujung kalimat.

"Ishhh...masyak sih?" Ia berjongkok di sebelahku seraya membantu menyemai benih bunga matahari.

"Humm." Aku hanya senyum-senyum kegirangan sambil menepuk-nepuk tanah dengan tangan kecilku yang sudah dipenuhi kotoran.

"Lihatlah wajahmu sampai berkeringat seperti itu dan apa itu yang ada di tanganmu, ayo mandi?" ajak ibuku sembari menyemprotkan air dari selang yang sudah terhubung dengan kran di tepi halaman rumah.

"Ma'e ... stop, please!" Aku mengarahkan kedua tangan terbenggar kedepan, sebagai simbol untuk berhenti. Namun, ibuku masih saja menjahiliku.

"Waktunya mandi? Anak perempuan, kok males mandi sih...."

"Stop! Ma'e...," rengekku yang masih berusaha membuat benteng pertahanan agar tidak terkena serangan dari ibuku.

"Ayo, sini! Nanti ma'e akan menceritakan dongeng kesukaanmu," tawarnya seraya mengulurkan tangan sebuah penerimaan.

"Kalau tidak mau ..., tidak ada dongeng untuk malam ini."

Xari! Itu sebuah ancaman bagiku, tidur tanpa sebuah dongeng? Ah, aku tidak bisa membayangkan. Apakah aku bisa tidur dengan nyenyak?

"Mai...Mai...! Oke, mandi. Waktumu hanya satu menit, Ma'e?"

"Satu menit? Mandi macam apa itu?" Ia mengernyitkan kening.

"Ala bebek, wek...wek...wek!" Aku menekuk tanganku sambil mengepak-ngepakanya, sedangkan kaki agak kurendahkan sambil berjalan berkotek.

Sekilas senyum bias terpancar di permukaan bibirku, berlembar gambar bayang seolah tak ada habisnya untuk berputar mengulas kembali dengan begitu angkuh.

Kenangan itu masih tersusun rapih dalam memori jangka panjangku--masih utuh dan tidak ada bercak kerusakan di sana. Begitu banyak kenangan bersama ibuku, tapi lain halnya kenangan bersama ayah--sangat minim atau bahkan bisa dibilang tidak ada.

Berbicara dengan ayah kandung saja serasa ingin berbicara dengan raja, susahnya minta ampun. Sekali dua kali dalam sebulan baru bisa bertemu dengan ayahku, itu pun hanya dilingkar meja makan.

Pekerjaan yang diembannya, membuat dia harus bolak-balik ke luar negeri. Hingga di akhir hayatnya, aku belum melihat sosok malaikat itu selama tiga bulan sebelumnya. Meski jalinan kehidupan antara aku dan ayah tidak begitu terikat, tapi tetap saja ada jalinan batin yang kuat, dimana jika salah satunya musnah rasanya yang satu ikut koyak.

✍️✍️✍️

NB:
Ma'e = Ibu
Pa = Bibi

mai pen rai ka = tidak masalah

SOBEKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang