Nasib Burukku

5 4 0
                                    

Follow akun author dulu ya Wuwulana

Budayakan vote sebelum baca~
Komen yg bnyak, jgn jd readers bisu🤐

Cerita ini aku buat untuk dibaca bukan untuk ditulis ulang 😩

Happy Reading

.

.

.


Mataku serasa panas, mengepul hingga memerah dan akhirnya liquid bening lolos dari pertahananku. Aku sedikit meruntukki nasib hidupku yang nampak seolah dunia kejam kepadaku dan masih saja kejam tiap bertambahnya waktu.

Ya, hal itu sepeti hanya berlaku kepadaku! Itu yang mampu kulihat selama ini, dengan kacamata asli yang tak pernah berdusta.

"Sa!" Sambil menepuk bahuku  dan tanpa izin duduk di sebelahku.

Aku tak meresponnya kali ini, memilih sibuk mengamati dawai senja yang terpampang begitu bersahaja di lengkung langit.

"Kerjaannya ngelamun aja, jijik. Entar Kesambet loh," beo Innez seraya menyenggol lenganku.

"Huftt!" desahku lesu seolah baru saja jadi kuli bangunan rasanya penat berkali-kali lipat.

"Loe kenapa, sih ... kalo ada masalah cerita aja," ujarnya sambil menautkan kedua tangan kemudian ia jadikan tumpuan untuk dagunya.

Aku menatap Innez dengan sendu, di dalam manik matanya tersirat ketulusan. Dia memang sahabatku yang paling baik, selalu menjadi pelangi setelah hujan, menjadi matahari tatkala terang benderang, dan menjadi bulan saat dunia gelap terhadapku.

Bahkan segala pertolongan yang diberikan, secuil  dari itu pun aku tak mampu membayarnya. Apalah diriku ini, bagai benalu saja!

"Kenapa?"

Suara itu mampu memecah keheningan yang kubuat. Aku tak mampu melontarkan kata-kata, yang kubisa hanya isyarat menggelengkan kepala kemudian memeluknya dengan hangat dan disambut dengan pelukan kasih sayang.

"Kalau ada masalah ceritain aja, Sa?" Sambil mengelus lembut punggungku yang masih dalam dekapannya.

"Gue cuma rindu sama Ma'e, Nez," bisikku.

Berbohong!

Padahal aku sedang meruntukki nasibku, bukan maksud ingin membuat tabir antara aku dan Innez, tapi aku tak mau dia menanggung segala kegelapan hidupku.

Wanita sepertinya tidak cocok jika harus diikuti awan petir dan derasan hujan di setiap arah kakinya melangkah. Lain denganku yang memang itulah takdirku, meski telah membuka lembar baru, jejak kekelaman itu masih menempel pada noktah kehidupan yang kujalani.

"Aku hanya butuh istirahat," desisku seraya melangkah menuju pelabuhan kapas yang empuk lalu menjatuhkan segala beban tubuh di sana.

"Oke, istirahatlah yang cukup. Nanti malam Loe ada sift malam 'kan?" ujar Innez agak menerawang.

"Chai Ka," gumamku tidak jelas karena wajahku terbenam pada bantal sebagai persembunyian mata yang mulai basah.

Terkadang aku heran kenapa mata ini mudah sekali sembab dan mengeluarkan air mata, apa ini karena aku yang terlalu cengeng atau memang stok air mataku begitu banyak hingga akhirnya mata ini tak mampu menampung dan tumpah kemana-mana.

Aku mendengar samar langkah kaki menuju ke arah pintu selanjutnya terdengar suara pintu tertutup.

Kubenamkan wajahku lebih dalam pada bantal yang tak berdosa itu, kemudian mengacak rambut penuh frustasi, samar-samar memori silam yang kelam bermunculan dan kini mulai menggerayangi pikiranku.

SOBEKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang