Kesan Terindah

16 1 0
                                    

Aku dan Gian berada di sekolah yang sama. Kami juga berada di angkatan yang sama. Tapi bukan hanya karena itu kami berjumpa. Entah sebuah kebetulan atau memang rancangan Tuhan, aku dan Gian mengikuti ekstrakurikuler yang sama. Dalam ekstrakurikuler paduan suara kami berjumpa.

Waktu itu adalah hari pertama ekstrakurikuler paduan suara dimulai. Semua anak yang baru bergabung dalam paduan suara diminta untuk menampilkan bakatnya di bidang musik. Tentu semuanya menampilkan hal terbaik yang mereka punya. Tapi hanya Gian yang berhasil memikat hati semua orang yang ada di ruangan itu. Keindahan suara Gian yang diiringi alunan keyboard yang dia mainkan, membuatku terpesona. Yang ada di pikiranku saat itu hanyalah,

“Tuhan, indah sekali ciptaan-Mu. Bahkan sedekat ini pun aku melihatnya, aku tidak melihat ada yang salah dari karya-Mu.”

Hari itu berlalu begitu saja bagi diriku. Tapi tidak bagi Gian. Gian menjadi pusat perhatian semua anak paduan suara. Bagaimana tidak? Dia berbakat, dan dia tampan. Aku yakin semua anak perempuan yang melihat Gian saat itu pasti ingin memilikinya, sama sepertiku. Semua anak laki-laki berusaha mendekati Gian dan menjadikan Gian teman.

Itu pertama kali aku bertemu dan melihat Gian.

Jujur, aku tidak mau menceritakan bagaimana awalnya aku dan Gian bisa dekat dan akhirnya berpacaran. Kejadiannya sangat-sangat memalukan. Tapi jika diingat-ingat, lucu juga.

Waktu itu hari Sabtu sekitar pukul 9.00 aku sedang dalam perjalanan menuju sekolah untuk mengikuti ekstrakurikuler paduan suara. Di hari itu memang beban pikiranku lumayan menumpuk. Biasalah, beban anak sekolah. Ada tugas yang belum aku selesaikan, ada nilai ujian yang tidak memenuhi, dan ditambah lagi saat itu ibuku sedang sakit dan berada di rumah sakit. Saking banyaknya yang aku pikirkan, aku tidak sadar bahwa aku memakai seragam saat datang ke sekolah.

Saat aku berjalan menuju gerbang sekolah, Gian yang saat itu juga baru datang, memanggilku dari atas sepeda motornya.

“Lana! Kamu mau ngapain? Kok pakai seragam?”

Tentu saja aku bingung karena aku tidak mengingat hal apa yang aku lakukan sebelum aku berangkat ke sekolah. Aku langsung melihat apa yang aku kenakan dan aku sangat terkejut. Dibandingkan rasa terkejut, rasa malu yang aku rasakan jauh lebih besar. Detik itu juga aku ingin menghilang dari bumi.

“Astaga! Aku nggak sadar. Aduh, gimana, ya? Aku nggak bawa baju ganti.” Aku panik dan bingung. Namun, Gian yang sangat tampan, berbakat, dan ternyata juga baik hati, menawarkan diri untuk mengantarku pulang ke rumah dan berganti pakaian.

“Ya sudah, ayo! Aku antar ganti baju,” katanya. Tentu saja aku tidak menolak walaupun aku kesal karena Gian tertawa melihatku salah memakai baju.

Gian tetap mengantarku meskipun dia tahu akan terlambat mengikuti ekstrakurikuler paduan suara. Selama perjalanan menuju rumahku, aku berpikir,

“kok Gian tahu namaku, ya? Dari mana dia tahu namaku?”

Setelah selesai berganti pakaian, kami kembali ke sekolah dengan sedikit ngebut. Tidak ada hal romantis yang terjadi seperti di film-film antara aku dan Gian saat itu. Kami sampai di sekolah dengan nafas terengah-engah meskipun naik sepeda motor.

Saat tiba di tempat latihan paduan suara, semuanya sudah mulai berlatih. Namun konsentrasi mereka terpecah karena kehadiran Sang Bintang, Gian.

“Eh, Gian. Tumben telat.”

“Loh. Gian kenapa ngos-ngosan?”

“Minum dulu, Gian. Kayaknya capek banget.”

Semua kakak kelas hanya terfokus pada Gian. Jadi, aku langsung saja masuk ke barisan kelompok suaraku. Tidak ada yang menyadari bahwa aku datang bersama Gian hingga ada satu kakak kelas yang juga baru datang mengatakan,

“Eh, tadi Gian berangkat sama Lana, loh.”

Mulai detik itu, banyak sekali yang menjodoh-jodohkan aku dengan Gian hingga akhirnya aku dan Gian menjadi dekat.

Aku Benci BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang