Janji

2 1 0
                                    

"Lana, malam ini aku jemput kamu, ya. Kita nyanyi-nyanyi bareng di tempat biasanya. Di puncak kota sambil lihat bintang." Gian tersenyum senang saat mengajakku.

"Ayo! Aku bawa gitarku, ya?" Aku menerima dengan semangat. Gian mengangguk sambil tersenyum.

"Ya udah, masuk sana." Gian menungguku masuk ke dalam rumah lalu pergi.

Di malam harinya, sekitar pukul tujuh malam, Gian sudah ada di ruang tamu bersama mamaku.

"Loh, kok udah sampai, sih?" Tanyaku.

"Kan ini sudah malam."

"Iya, sih. Tapi kok nggak bilang kalau mau berangkat."

"Aku nggak punya koin buat telfon kamu. Ini aku baru minta mama kamu." Gian mengangkat satu kantung yang terisi penuh dengan koin dari mama.

"Kan kamu bisa telepon dari rumah," sahutku.

"Jangan salah, menggunakan telepon umum itu membantu perekonomian," jawab Gian.

"Tapi kamu nggak modal. Masa mau deketin anak mama yang cantik ini harus minta koin dulu ke mama," canda mama sambil mengelus kepalaku.

"Anggap aja Tante sewa aku buat bikin Lana seneng, Tante," ucap Gian.

"Ihhh. Lana, mah, sama mama doang juga udah bahagia," jawab mama.

"Tapi kalau ada aku, kan, jadi berlipat-lipat, Tante." Gian tetap tidak mau kalah.

"Ya udah, sana. Lama-lama darah tinggi mama kumat dengerin kamu ngomong terus." Kami bertiga tertawa dalam suasana hangat malam itu.

Aku dan Gian bergantian mencium punggung tangan mama.

"Jangan pulang terlalu malam, ya, Gian. Hati-hati di jalan."

"Siap, Tante. Jangan khawatir. Gian punya ilmu kebal untuk melindungi Lana." Gian selalu punya ide untuk membalas perkataan orang lain. Itu salah satu hal yang aku suka dari Gian.

Aku dan Gian pun bersenang-senang malam itu. Gian menggambar sebuah bintang di gitarku dengan tinta berwarna kuning. Kata Gian,

"Kalau lihat bintang, ingat aku, ya."

Sampai saat ini, setiap melihat bintang aku pasti mengingat Gian. Tapi bukan hanya kesan indah Gian yang aku ingat.

Malam itu Gian juga memainkan gitar kesayanganku untuk mengiringi aku bernyanyi. Di malam itu juga, terciptalah satu lagu dari Gian. Di lagu itu ada lirik yang sangat membekas di telingaku beserta suara indah Gian. Lirik itu berbunyi,

Suara bintang mengisyaratkan cinta
Hadir di senja setelah hujan
Memori yang tak ingin ku penuhi
Hingga waktu Lana tiba
Akan kutunggu dengan melodi rasa

Gian sudah banyak membuatkan aku lagu, dan lagu itu lagu pertama yang Gian buat untukku. Rindu rasanya melihat Gian membuatkan lagu untukku.

Ada lagi hal yang membuatku sangat menyayangi Gian. Gian tidak pernah mengingkari janjinya. Apa pun yang dia ucapkan dari mulutnya, selalu dia tepati. Termasuk saat dia berkata bahwa dia ingin mewujudkan mini goal ku, yaitu akan berpacaran saat sudah berkuliah saja.

Saat aku dan Gian sudah menjadi mahasiswa dan mahasiswi di kampus impian kami masing-masing, Gian langsung mengajakku bertemu di tempat sejuta kenangan aku dan Gian. Di situlah Gian menyatakan cintanya untuk yang kesekian kalinya. Yang berbeda saat itu adalah Gian bisa mewujudkan mimpinya dan mimpiku. Kami menjadi sepasang kekasih hari itu.

"Aku janji aku pasti setia," ucap Gian.

Aku dan Gian berada di kampus yang berbeda. Kampus Gian berada di luar kota. Jadi, sangat sulit bagi kami untuk bertemu. Kami hanya bisa saling bertukar suara melalui telepon.

Ada satu hari dimana Gian tidak mengangkat telepon dariku. Aku berusaha tidak khawatir karena hal itu. Aku berusaha mencari informasi dari orang lain, tapi aku sama sekali tidak mengenal teman Gian di kampusnya. Saat itu aku benar-benar kesal dan bingung.

"Kenapa nggak ada kabar kayak gini, sih? Seenggaknya bilang kalau dia sibuk biar aku nggak khawatir."

Sampai malam pun, Gian masih tidak memberikan kabar sedikitpun melalui apapun. Tapi aku harus tidur karena keesokan harinya aku harus kuliah. Namun sangat tidak terduga, di pagi hari saat aku sudah bangun, Gian sudah membantu mama memasak sarapan.

"Gian? Kok kamu udah di sini?"

"Surprise!" Gian mengangkat tangannya yang sedang memegang sutil.

"Kok nggak bilang-bilang, sih?"

"Kalau bilang-bilang, bukan surprise namanya."

"Ya tapi kan aku jadi khawatir."

"Iya, maaf. Tapi seneng, kan?"

Aku tersenyum dan mengangguk. Gian memelukku erat.

Aku Benci BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang