Berhenti

2 1 0
                                    

Aku merawat Gian sampai pulih bersama ibunya selama kurang-lebih dua Minggu di rumah sakit. Tak satu hari pun aku lewatkan untuk mengunjungi Gian di rumah sakit. Mamaku juga sempat datang jauh-jauh untuk menjenguk Gian. Mama sangat sayang kepada Gian, seperti Mama menyayangiku. Itu sebabnya Mama rela mengunjungi Gian walau berada di wilayah yang berbeda.

Selama beberapa bulan, aku menemani Gian yang tak jarang menggunakan tongkat atau kursi roda kemanapun.

"Kamu nggak malu jalan sama aku?" Tanya Gian.

"Malu kenapa?" Tanyaku kembali. Gian hanya mendengus.

"Kenapa gitu, sih? Kayak kerbau kamu kalau kayak gitu." Aku mengomentari dengusannya.

"Masa aku didorong ke sana ke mari sama kamu. Cowok macam apa aku? Seharusnya aku yang nuntun kamu." Gian terlihat kecewa.

"Berarti kamu mau aku patah tulang?" Tanyaku memancing perkara.

"Nggak harus begitu," jawab Gian.

"Aku tetap terima kamu bagaimana pun keadaan fisik kamu, Gian. Asalkan kamu nggak selingkuh." Aku tertawa dengan lelucon ku sendiri. Sebenarnya, lelucon itu aku buat untuk menyindir Gian. Tapi Gian tidak bereaksi apa-apa. Candaan yang aku buat membuatku kesal sendiri saat itu.

Setelah sekitar tiga bulan, akhirnya Gian sudah bisa berjalan tanpa alat bantu. Aku tidak bisa mengatakan bahwa Gian kembali ceria setelah saat itu, karena pada saat sakit pun Gian tetap ceria.

"Lana. Nggak usah sering-sering ke sini, ya. Aku sudah sembuh. Kasihan kamu. Habis ongkos, habis tenaga. Aku antar kamu pulang besok, ya?"

Selama proses penyembuhan Gian, keluarga Gian memutuskan untuk pindah. Jadi, setelah Gian sembuh, aku tidak ada alasan untuk menyuruhnya untuk datang ke kotaku. Gian sudah tidak ada keluarga di sini.

Saat itu Gian mengantarku pulang dengan selamat. Mobilnya terparkir di depan rumahku, tapi Gian tidak mau turun bahkan hanya untuk memberi salam kepada mamaku.

"Dadah!" Ucap Gian saat aku membuka pintu mobilnya.

"Kamu nggak mampir?" Tanyaku.

"Sudah malam," jawab Gian.

Seingat ku, dulu Gian selalu memaksa untuk bertemu mamaku saat mengantarku pulang. Jam berapapun itu, Gian harus menemui mamaku.

"Ya sudah. Hati-hati, ya." Aku turun dari mobilnya dan membiarkan Gian pergi.

"Dulu Gian hanya mengantarku naik motor. Sekarang dia sudah bisa bergaya dengan mobil." Aku tertawa kecil karena merasa bangga dengan Gian yang sudah berubah, meskipun perubahannya tak seutuhnya menyenangkan untukku.

Setelah saat itu, Gian menjadi lebih sering mengirim pesan kepadaku dibanding sebelum Gian kecelakaan. Tapi foto pemandangan bintang yang aku tunggu-tunggu tak juga datang ke rumahku. Gian tidak pernah mengirimnya lagi.

Aku kira keadaan seperti itu akan bertahan lama. Keadaan di mana Gian sering menghubungiku, sering memberikan kabar, dan lain-lain. Ternyata tak sampai setengah tahun, Gian kembali tak terdengar kabarnya. Aku berpikir bahwa Gian sedang sibuk-sibuknya. Karena di saat itu aku pun sedang sibuk-sibuknya di perkuliahan. Bodohnya, aku membiarkan hubunganku merenggang selama satu bulan.

Aku mencoba menelepon ibu Gian saat itu. Hanya sekedar menanyakan kabar dan berbincang-bincang.

"Halo, Lana?"

"Halo, Bu. Apa kabar?"

"Sehat, Lana. Lana apa kabar?"

"Sehat, Bu. Gimana, Bu, di sana? Tetangga ibu baik-baik semua, kan?"

"Hahaha mereka baik, kok. Kabar mama gimana, Lana?"

"Sehat, Tante. Om apa kabar, Tante?"

"Sehat juga."

"Syukurlah."

"Emm, Gian apa kabar, Tante?" Tanyaku ragu. Terdengar tarikan napas yang cukup dalam dari ponselku.

"Kamu putus, ya, sama Gian?"

Aku Benci BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang