Terselesaikan

6 1 0
                                    

"Bintang cuma teman aku, Lana."

"Ya sudah, aku nggak peduli. Kalau kamu mau berteman sama Bintang, silahkan."

"Tapi kita jangan putus."

"Kamu suka, kan, sama Bintang?" Gian hanya terdiam.

"Jawab."

"Kenapa menyimpang, sih, pertanyaan kamu? Ini tentang hubungan kita."

"Jawab!" Gian hanya tertegun mendengar amukan ku. Saat melihat wajahnya yang merasa bersalah saat itu, aku merasa kasihan. Tapi amarahku tidak bisa terhenti.

"Aku tahu, Gian. Aku tahu kamu. Aku sangat tahu kamu. Aku sangat-sangat tahu kamu. Kamu nggak akan bawa perempuan yang seperti apa pun ke depan orang tuamu. Bahkan aku butuh dua tahun sampai akhirnya kamu mau ajak aku ke rumahmu. Aku tahu kamu, Gian."

Aku menarik napasku dalam, berusaha menenangkan diriku sendiri.

"Jawab jujur. Kamu suka sama Bintang?"

"Lana, tolong bersikap dewasa, lah."

"Bersikap dewasa? Kamu sudah setua apa bisa bilang begitu ke aku?"

"Lana, kamu sekarang lagi emosi. Tenangkan dulu pikiran kamu. Aku tahu kamu marah. Setelah kamu mereda, kita lanjut bicara." Gian mengusap tanganku untuk membuat aku tenang.

Sepuluh menit kemudian, Gian bertanya kepadaku.

"Sudah tenang?"

"Maaf," ucapku. Ternyata benar ucapan Gian. Aku hanya sedang emosi. Pikiranku tidak jernih.

"Mau bilang apa? Bilang baik-baik, ya."

"Bintang siapa?"

Gian menarik napasnya, dia terlihat kesal saat aku menanyakan hal yang sama berulang kali.

"Bintang temanku. Kamu maunya aku jawab apa? Aku sudah jawab sejujur-jujurnya."

Entah mengapa, mendengar jawaban itu aku malah menangis.

"Aku sudah bikin kamu nangis dua kali," ucap Gian sambil memberikan tisu.

"Lebih," ucapku.

Raut wajah Gian tetap sama kecewanya saat pertama kali aku menangis di hadapannya.

"Ada lagi?" Tanya Gian.

"Kenapa kalian dipanggil pasangan?"

"Siapa yang panggil begitu?"

"Aku nggak kenal. Teman kampusmu mungkin?"

"Kamu dengar dari mana teman-teman kampusku panggil aku dan Bintang pasangan?"

"Berarti benar?"

"Ya kamu tahu, lah, Lan. Ada saja teman-teman yang menjodoh-jodohkan. Padahal aku sudah bilang ke mereka kalau aku sudah punya pacar. Mana mungkin aku melarang hak mereka untuk bicara? Aku bukan Tuhan yang bisa membuat manusia tiba-tiba menjadi bisu."

Aku hanya terdiam.

"Sudah?" Tanya Gian lagi.

"Kenapa kamu nggak hubungi aku sama sekali selama satu bulan terakhir?"

"Kenapa nggak pernah kirim foto pemandangan bintang lagi ke aku?"

"Kenapa kamu nggak mau temuin mama padahal cuma butuh waktu sebentar saja?"

Pertanyaan yang selalu ku nantikan jawabannya, akhirnya aku punya kesempatan untuk mengungkapkannya saat itu.

"Aku harus jawab yang mana dulu?"

"Terserah."

"Aku takut kamu bosan kalau aku hubungi kamu terus, aku—"

"Enggak." Aku memotong ucapan Gian.

"Aku nggak mungkin bosan, Gian. Aku malah senang bisa sering dengar suara kamu."

"Oke, maaf. Aku akan sering hubungi kamu lagi."

"Terakhir kali aku kirim foto pemandangan bintang ke kamu, itu terakhir kali juga aku bisa lihat pemandangan bintang. Setelah saat itu aku nggak pernah sempat untuk lihat bintang di malam hari."

Aku hanya menunduk saat setelah mendengar penjelasan Gian. Aku merasakan sedikit malu saat itu karena selalu menuntut Gian apapun yang aku mau.

"Kalau tentang mama, hari ini juga aku akan temui mama. Gimana? Masih ada yang mau ditanyakan?"

"Maaf, ya. Aku selalu menuntut ini, itu, dan banyak hal ke kamu. Padahal kehidupan kamu nggak cuma aku."

"Nggak apa-apa. Wajar, kok, kalau kamu merasa khawatir. Kalau kamu nggak khawatir ke aku, nanti aku yang khawatir. Khawatir kamu mengkhawatirkan yang lain."

Aku Benci BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang