Teman

5 1 0
                                    

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa waktu itu. Aku menyayangi Gian. Aku tidak mau Gian menyayangi yang lain. Aku tidak mau mengatakan kepada Gian bahwa aku kecewa. Aku takut akan menimbulkan masalah. Akhirnya, aku memilih pura-pura tidak tahu dan diam saja.

Sakit rasanya memendam rasa ini hampir tiga tahun. Aku selalu mencoba menanyakan semuanya kepada Gian. Tapi aku tidak berani. Aku takut aku membuat Gian harus memilih. Aku lebih tidak siap jika Gian akan memilih Bintang.

Bintang cantik. Laki-laki pasti suka Bintang. Gian laki-laki. Gian pasti suka Bintang. Bintang terlihat ramah dan menyenangkan. Tidak sepertiku yang membosankan.

Semakin hari, semakin aku khawatir. Semakin hari, semakin jarang Gian menghubungiku. Gian yang biasanya selalu mengirimkan foto pemandangan bintang yang indah melalui pos, menjadi diam. Jarang sekali pesan dari Gian masuk ke ponselku.

Aku pernah mencoba mengatakan hal ini kepada Gian secara langsung. Tapi tujuanku lenyap seketika saat melihat Gian di depanku dengan tatapannya yang selalu ku rindu. Setiap pertemuan kami yang sangat jarang, aku selalu ingin menghabiskannya tanpa penyesalan dan menganggap hari itu hari terakhirku bersama Gian. Aku masih terlalu menyayangi Gian.

Pada suatu hari, ibu Gian meneleponku berkali saat aku sedang ada presentasi di kampus, jadi aku tidak bisa mengangkatnya. Setelah kelas selesai, aku menelpon ibu Gian kembali.

"Halo, Bu? Ada apa Bu?"

"Halo, Lana. Apa kabar, nak?"

"Sehat, Bu. Ibu apa kabar?"

"Ibu sehat, nak. Kamu lagi di mana sekarang?"

"Di kampus, Bu. Lana Habis selesai kelas. Ada apa, Bu?"

"Gian di rumah sakit, Lana."

"Hah? Sakit apa, Bu? Kecapean, ya?"

"Bukan. Gian kecelakaan, Lan."

Setelah mendengar itu, aku tidak bisa berpikir banyak. Aku langsung menanyakan rumah sakit tempat Gian dirawat dan langsung pergi ke stasiun kereta dan membeli tiket keberangkatan terdekat.

Gian mengalami kecelakaan tunggal sepeda motor bersama seorang temannya. Kaki Gian patah dan wajah Gian dipenuhi luka. Aku baru diberi kabar setelah tiga hari Gian dirawat. Sedikit sedih, tapi aku bisa memahami situasi saat itu.

Saat itu aku memutuskan untuk pulang-pergi agar aku bisa membantu ibu Gian merawat Gian sembari kuliah. Aku tidak merasa keberatan. Yang aku harap saat itu hanyalah agar Gian bisa cepat pulih.

"Lihat. Aku sakit saja masih suka sama kamu," ucap Gian tiba-tiba.

"Lihat. Kamu sakit saja masih bisa banyak ngomong," balasku. Gian sakit saja masih bisa membuatku tertawa.

Saat itu aku merasa hubunganku dan perasaanku kepada Gian kembali seperti semula. Kami sering berinteraksi, sering bergurau. Banyak momen baru yang akhirnya mulai terbentuk kembali. Entah aku harus sedih atau senang karena Gian mengalami kecelakaan, tapi aku sungguh bersyukur dengan suasana yang saat itu akhirnya bisa kembali.

Tapi aku sedikit penasaran. Kenapa Bintang tidak mengunjungi Gian sama sekali? Bukankah kata orang-orang mereka love bird? Aku mencoba bertanya kepada Gian.

"Bintang kok nggak ke sini?"

"Hah? Ngapain Bintang ke sini? Haha." Gian tertawa canggung.

"Aku kira kalian dekat. Waktu itu, Bintang bilang kalau kamu sering cerita tentang aku ke dia. Jadi, aku pikir kalian cukup dekat."

"Nggak begitu dekat, kok." Gian tersenyum kepadaku. Entah kenapa, senyuman Gian waktu itu sangat menenangkan ku yang sedang bingung dengan Gian.

"Kamu masalah, nggak, kalau aku punya teman perempuan?" Gian bertanya.

"Enggak, kok. Berteman itu hal yang baik. Semakin banyak teman, semakin banyak relasi. Relasi itu sangat penting untuk kehidupan makhluk sosial. Yang penting, berteman jangan berlebihan. Cukup sekadar berteman saja," jawabku. Gian mengangguk paham.

"Memangnya kenapa?" Tanyaku.

"Kalau kamu melarang ku untuk berteman sama perempuan, aku nggak bisa melanggar. Pasti akan ku turuti."

Aku Benci BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang