1.6 : Hancur dan kembali bangkit

32 8 21
                                    

"Ap-apa kata dokter setelah operasi?" tanya Bintang pelan, ia masih belum mampu bersuara lebih lantang dari itu. Hal tersebut membuat Yudistira harus menajamkan pendengarannya dua kali lebih baik. Ia mengerti, pertanyaan ini sedikit membuatnya gemetar, ia takut untuk mengetahui reaksi Bintang.

"Lo, lo gapapa kok," jawab Yudistira bohong. Ia menggigit ujung bibirnya. Sedikit ketakutan.

"Lo bohong, ya?"

Yudistira sontak mengerjap, bibirnya mendadak kelu. Tenggorokannya terasa kering. Ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun atas ucapan Bintang itu.

Bintang kemudian menggerakan jarinya, mengangkatnya ke arah Yudistira. Menunjukkan angka tujuh dengan jarinya. Tersenyum kecil.

"Kita udah temenan lama, Yus."

"Yus, yus, lo! Lo kira gue Gayus tambunan, apa?"

Bintang tersenyum lagi. "Bilang aja, kenapa?"

"Apanya yang kenapa?"

"Gue. Gue kenapa kata dokter?"

Yudistira meneguk salivanya ia tak sanggup berkata apa pun. Ia sungguh bingung harus menjawab apa.

Anjir, tau gitu. Tadi gue gak usah main setuju aja si Bintang ngusir Bumi, Niko sama Tegar. Kalo gini, kan, ujung-ujungnya harus gue yang jawab pertanyaan dari Bintang, sh*t banget! batin Yudistira.

"Apa ada hubungannya sama kaki gue?" tanya Bintang lagi, Yudistira menggeleng cepat.

"Nggak, nggak, kaki lo, baik-baik aja, kok. Ya, hehe, lo gak usah mikir macem-macem, ok!"

Bintang yang tidak percaya pada Yudistira pun menatap Yudistira dengan tajam, lalu secara spontan langsung menbuka selimut yang menutupi kaki Bintang. Kakinya masih utuh, terlihat normal, meski ia tahu ada bekas jahitan disana. Membuatnya sedikit gemetar dan menyentuh luka operasi yang diperban tersebut. Ia pun mencoba menggerakan kakinya. Mencoba menekukkan jari kakinya. Namun, nihil. Ia bahkan tak merasakan apa-apa, seakan .
.. kakinya ini, hanya pajangan. Bintang mengernyit, ia kebingungan, ada apa dengan kakinya?

Kenapa gue gak bisa ngerasain kaki gue sendiri, apa ini karena efek obat bius? Makanya gue gak bisa ngerasain kaki gue sama sekali dan gak bisa nekukin jari kaki gue? batin Bintang.

Ia mengelus luka di kakinya, tersenyum kecil dan menengok ke arah Yudistira. "Gue ... gak kenapa-kenapa, kan? Ini coba efek obat bius, kan?"

Yudistira kini tercekat, ia bingung harus menjawab apa. Ia sungguh takut saat ini. Namun, dengan berat hati, karena belum mampu mengucapkannya sendiri, ia masih ingin mengulur waktu untuk mengungkapkan semuanya.

"Iya, itu cuma efek obat biusnya, pasti nanti baikan. Lo-lo pasti bakal bisa ngerasain kaki lo lagi, nanti pasti bisa digerakin lagi."

Bintang menatap Yudistira. Entah karena terlalu percaya pada Yudistira atau belum siap menerima kenyataan yang ia takuti, ia akhirnya mengangguk dan menutup kembali matanya.

"Lo makan aja, sana. Gue tau, lo pasti belom makan," ujar Bintang.

"Hah?"

"Makan, Yus!" titah Bintang.

Yudistira mengangguk, ia kemudian menunjuk pintu. "G-gue, keluar dulu, ya. Bentaran pasti dokter kesini, gue, mau beli makan dulu, ok!"

Bintang tak menjawab, ia hanya bergeming. Yudistira tidak ambil pusing dengan tindakan Bintang, ia butuh udara segar. Ia butuh keluar dari situasi gawat darurat ini. Lalu, saat inilah yang ia tunggu. Keluar dari perhatian dan pandangan Bintang.

"Ok, bye. L-lo istirahat, ya. Gue keluar!" Yudistira pun bergegas pergi dan menutup pintu seketika. Bintang yang tadi memejamkan mata kini membukanya dan terdiam menatap pemandangan di depannya.

Hm, gue ... kayaknya gak baik-baik aja, ya, Yus. Apa gue lumpuh? Terus, gue harus gimana? Makin gak guna aja, dong, gue di kehidupan ini. Hm, sialan! batin Bintang.

***

"Bin, mau nasi padang gak?" tanya Bumi. Bintang hanya menatapnya malas. Bumi membalas tatapan Bintang dengan cengiran kuda.

"Atau, lu mau es krim? Gue beliin sepuluh, deh," tawar Tegar. Lagi lagi Bintang hanya bisa menghela napas dan berusaha menahan tangannya yang sudah gatal ingin melempar pisau buah, kebetulan jaraknya cukup dekat dengannya,tepat disamping ranjangnya, di meja. Bintang sepertinya siap meluncurkan serangan mendadak pada salah satu temannya itu, jika mereka masih mencari gara-gara dengannya.

"Udahlah, kalian. Jangan nyari gara-gara mulu, deh, sama Bintang," omel Yudistira pada tiga temannya yang unakhlak.
"Gue gak ngapa-ngapain, anjir! Gue cuma diem!" seru Niko.

"Ya, tapi diemnya lo tuh menyesatkan, tau-tau nawarin minum yak*lt sekardus lagi, nanti!" ujar Tegar.

"Sotoy, lu pada! Orang mau nawarin minum Cim*ry 2 pack!"

"Gue bilang juga apa!"

Yudistira dan Bumi hanya tertawa dengan riang mendengar penuturan Tegar.

"Nemu dimana, sih, lo? Temen-temen kayak bocah tiga ini?" tanya Yudistira sambil menunjuk pada Tegar, Niko dan Bumi.

"Selokan, kasian gak ada yang ngakuin."

Yudistira tergelak, dia Menepuk-nepuk bahu Bintang dengan heboh.

"Aw, sakit!"

"Eh, maaf, maaf, bruh!"

"Bukannya lo juga sama, ya, gue temuin di selokan. Suka kagak ngaku, lo!" ujar Bintang.
"What the heck! Kurang asin lambe lo, nak!"

Mereka pun terdiam sejenak, hingga Bintang memecah keheningan diantara mereka. Namun, ucapan tersebut justru membuat keempat temannya tak mampu mengucap sepatah kata pun.

"Jadi, jujur aja sama gue, hm, gue tanya ... gue ini gak baik-baik aja, kan?"

Lama tak memberikan jawaban, Yudistira malah tertawa garing. "Apanya yang gak baik-baik aja, sih, Bin? Orang lo sehat dunia akhirat gini!"

"Gue lumpuh, iya, kan?"

Kini keempatnya tak mampu membalas, hanya membisu.

Bintang kini nampak murung, matanya berkaca-kaca. Ia kemudian mengalihkan posisi tidurnya dari yang tadinya menghadap Yudistira, kini justru membelakanginya.

"Bin, lo harus yakin. Lo bakal sembuh, ok?" ucap Yudistira menyemangati.

"Kita bakal temenin lo terapi, lo pasti sembuh. Lo harus yakin!" ujar Bumi.

Bintang tersenyum getir.

I'M A LOSERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang